Dari perbedaan mendasar ini, lanjutnya, logis jika epistemologi dan aksiologinya pun nanti akan berbeda. Pendidikan umum sering berangkat dari keraguan. Sementara dalam Islam, bisa dimulai dari keyakinan dulu, baru kemudian mencari pembenarannya. Tujuannya pun lain.
"Aksiologinya tentulah beda, kita kan tujuannya sampai akhirat. ITB itu nggak ada urusan akhiratnya," ucap Nasaruddin dengan nada khasnya.
Ia juga menyentuh soal metodologi. Ambil contoh perbandingan antara historiografi umum dengan ilmu hadis (ulumul hadis). Cara menilai kebenaran dan otentisitasnya jelas berbeda. Bahkan, cakupan ontologi pesantren bisa lebih dalam lagi dibanding pendidikan Islam secara generik.
Di sisi lain, Nasaruddin menyoroti kriteria dosen di perguruan tinggi keagamaan. Menurutnya, tak cukup hanya bermodal keilmuan akademis belaka.
"Harusnya profesor dosen itu bukan saja ilmunya maqamnya profesor, tapi kepribadiannya juga, attitude-nya, bahkan kedekatan dirinya juga," kata dia.
Di akhir paparannya, ia menutup dengan permintaan evaluasi menyeluruh. Tanpa distingsi yang jelas, eksistensi perguruan tinggi agama akan kehilangan warna.
"Kalau hanya satu standar untuk semuanya ya berarti kita nggak punya distingsi," pungkasnya.
Artikel Terkait
Tes DNA Dilakukan, Nasib Tiga Jemaah Haji Indonesia di Arab Saudi Masih Gelap
Prabowo Targetkan Korban Bencana Pindah ke Huntara Sebelum Ramadan
BRIN Buka Akses Gratis Fasilitas Riset untuk Mahasiswa
Kepala Seksi Kejari HSU Berganti Rompi Oranye Usai Ditangkap KPK