Di Gedung BJ Habibie BRIN, Menteng, suasana diskusi cukup hangat. Arif Satria, sang Kepala BRIN, tak sungkan menyoroti sebuah masalah klasik yang masih menghantui dunia riset kita: jumlah penelitinya yang sangat sedikit. Bandingannya dengan negara lain, terutama yang sudah maju, bikin kita harus menghela napas.
"Coba lihat angka-angkanya," ujar Arif dalam Media Lounge Discussion, Senin (22/12) lalu.
"Peneliti kita kurang dari 300 per satu juta penduduk. Sedangkan Korea Selatan? Sudah melesat di atas 4.000. Bahkan banyak negara lain yang sudah tembus angka seribu lebih."
Kesenjangan yang signifikan itu, menurutnya, jelas jadi tantangan berat. Bagaimana mungkin ekosistem riset nasional bisa kuat kalau jumlah pelakunya sendiri masih sangat terbatas? Tapi Arif tak cuma mengeluh. Ia menyebut BRIN punya strategi lain, tidak cuma mengandalkan rekrutmen internal.
Kuncinya ada di kolaborasi dengan kampus-kampus.
"Nah, untuk menambah jumlah periset, jalan keluarnya nggak cuma menambah staf baru di BRIN," jelas mantan Rektor IPB University itu.
"Kita bisa buka jalur fungsional yang ada di perguruan tinggi."
Selama ini, banyak sekali pusat studi di universitas yang diisi oleh orang-orang kompeten. Mereka bergelar doktor, punya segudang publikasi dan riset. Sayangnya, status mereka seringkali hanya sebagai tenaga kependidikan atau 'tendik', tanpa jenjang karier yang jelas sebagai peneliti.
Artikel Terkait
Prabowo Targetkan Korban Bencana Pindah ke Huntara Sebelum Ramadan
BRIN Buka Akses Gratis Fasilitas Riset untuk Mahasiswa
Kepala Seksi Kejari HSU Berganti Rompi Oranye Usai Ditangkap KPK
Rajab Datang, Alarm Perubahan yang Kerap Terlupakan