Rambutnya sudah sepenuhnya putih, tapi sorot matanya masih tajam dan semangatnya tak kunjung padam. Bambang Saparyono, pensiunan PNS Balai Kota yang kini berusia 69 tahun, tetap terlihat bugar. Usia, baginya, cuma angka. Angka itu sama sekali tak menghalanginya untuk tetap setia mengayuh sepeda onthel tuanya.
Dan di setiap kayuhan itu, terselip sebuah misi yang ia genggam erat: melestarikan Bahasa Jawa.
Tiga hari dalam seminggu tepatnya Selasa, Kamis, dan Sabtu Bambang rutin "mangkal". Lokasinya strategis, di kawasan Titik Nol Yogyakarta, persis di antara Benteng Vredeburg dan Gedung Agung Istana Kepresidenan. Dari rumahnya di Loano, ia bersepeda sejauh tiga kilometer untuk sampai ke sana.
Seperti pada sebuah Sabtu di penghujung tahun, misalnya. Hiruk-pikuk wisatawan sudah mulai memadati jalanan Yogya. Tapi di tengah keramaian itu, Bambang tetap konsisten dengan ritualnya.
Onthelnya diparkirkan. Di jok belakang, terpancang rak sederhana berjajar novel dan cerita cekak semua dalam Bahasa Jawa. Buku-buku itu adalah karyanya sendiri, hasil ketekunannya menulis selama beberapa tahun terakhir. Siapa pun boleh membacanya. Gratis.
Kehadiran pria sepuh dengan sepeda tua dan rak buku itu kerap mencuri perhatian. Ada yang sekadar melirik, ada yang tertarik membaca sebentar, tak sedikit pula yang menjadikannya latar foto yang unik. Bagaimanapun reaksi orang, bagi Bambang, ini adalah caranya untuk menjaga bahasa ibunya tetap hidup.
Dimulai dari Sebuah Keprihatinan
Bambang sebenarnya sudah akrab dengan dunia tulis-menulis sejak kuliah di Farmasi UGM dulu. Masa mudanya dihiasi dengan tulisan-tulisan opini yang kerap dimuat koran.
Tapi menulis dalam Bahasa Jawa? Itu hal baru. Baru sekitar tahun 2021 ia serius mendalaminya.
"Saya bikin cerita cekak, cerita pendek. Lalu saya posting di Facebook," kisahnya.
Dorongan itu muncul dari sebuah kejadian yang menyentuh hatinya. Ia prihatin melihat anak-anak zaman sekarang yang kesulitan menggunakan Bahasa Jawa krama atau bahasa halus dengan tepat.
"Ketika saya di masjid itu, anak-anak ngajak ngobrol saya pakai ngoko. Tergerak lah hati saya," kenang Bambang.
Momen di masjid itulah yang kemudian ia tuangkan dalam cerita pendek di Facebook. Tulisannya pun kian berkembang, terutama yang membahas unggah-ungguh basa atau tata krama berbahasa.
"Sudah saya arahkan, seseorang harus basa (berbahasa krama) dengan siapa, dengan bahasa bagaimana," bebernya.
Menulis cerita dengan beragam karakter mengharuskannya berperan sebagai manusia dari berbagai usia. Tulisannya berusaha memberi pencerahan: bagaimana anak berbicara kepada yang lebih tua, bagaimana orang dewasa berinteraksi, hingga cara orang tua menggunakan bahasanya.
"Maksudnya ke orang yang lebih tua harus halus. Kalau ke yang setara, bahasa Jawa biasa. Kalau ke anak kecil, justru kita yang harus lebih halus, sebagai contoh buat mereka," paparnya.
Uniknya, setiap tulisannya selalu berlatar belakang Yogyakarta. Jadi, dialek yang mengalir di tulisannya tetap autentik, dialek Yogya asli.
Dari Facebook ke Buku Cetak
Respon terhadap postingannya ternyata cukup besar. Banyak yang tertarik. Dari sanalah, Bambang terpikir untuk menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku.
Artikel Terkait
Prabowo Soroti 29 Juta Warga Tanpa Rumah, Tegaskan Pemberantasan Korupsi Kunci Utama
Rustam Effendi Klaim Ijazah Jokowi Palsu Usai Lihat Dokumen di Polda
2025: Saat Layar Lebar Indonesia Dikuasai Animasi, Horor, dan Kisah Masa Depan
Rustam Effendi Klaim Foto di Ijazah Jokowi Palsu: Lihat Saja Mulut dan Kacamatanya