Penutupnya seringkali sangat afektif, seperti “Peluk erat dari aku. Kamu boleh menangis, boleh marah.” Di balik bahasa yang frontal, penjelasannya tetap ilmiah, hanya dikemas dengan cara yang lebih mudah dicerna.
Claude
Claude punya rata-rata jawaban terpendek. Gayanya formal seperti Gemini, tapi diselipkan kata-kata motivasi yang relatable, misalnya meyakinkan bahwa kondisi yang dialami “bukan karena kamu ‘lemah’”. Ia juga menyertakan pertanyaan lanjutan untuk mendalami situasi pengguna.
Deepseek
Deepseek mirip Grok dalam pemilihan diksi. Ia juga menggunakan kata ‘gila’ dan ‘lemah’. Isi jawabannya tak selengkap yang lain, tapi sering ditutup dengan kata motivasi dan emoticon hati, membuat nuansanya terasa lebih hangat.
Ahli Ingatkan: Jangan Gantikan Profesional
Maraknya tren ini diamati oleh Wuri Prasetyawati, dosen Psikologi UI. Menurutnya, ini wajar seiring meningkatnya kesadaran kesehatan mental dan kemajuan teknologi.
“Chatbot ini diciptakan dengan berbagai alasan yang mendasarinya, seperti kepraktisan dan biaya,” kata Wuri.
Lingkungan yang dianggap aman dan bebas dari penilaian juga jadi daya tarik utama. “Adanya kekhawatiran orang bahwa masalahnya akan dinilai negatif oleh orang lain membuat ia lebih aman jika bertemu dengan mesin,” tambahnya.
Wuri bilang, memakai AI untuk keluhan ringan seperti kecemasan sehari-hari masih boleh-boleh saja. Tapi bahayanya, bisa timbul ketergantungan. Dalam jangka panjang, orang bisa enggan ke profesional, padahal penanganannya mungkin sudah tidak tepat lagi dan berisiko fatal.
“Chatbot juga menggunakan algoritma untuk mengenali emosi, melakukan empati, memahami perilaku dan sebagainya. Namun manusia memiliki karakter unik yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain,” jelasnya.
“Pakar kesehatan mental, karena memiliki ilmu untuk mempelajari perilaku manusia, dapat memberikan respons yang lebih akurat untuk ini.”
Solusi jangka panjangnya, menurut Wuri, adalah meningkatkan layanan kesehatan mental itu sendiri. Jumlah ahli masih minim. Ia usulkan penambahan tenaga profesional dan memaksimalkan peran "peer counsellor" di sekolah dan kampus.
Pengalaman Berkonsultasi ke Profesional: Ternyata Beda
Pengalaman Dian (bukan nama sebenarnya) bisa jadi pelajaran. Ia didiagnosis depresi pasca-putus di pertengahan 2023. Perubahannya drastis: sering menangis, hilang fokus, malas beraktivitas, sampai berat badan turun 9 kilogram.
“Setiap bangun juga rasanya itu deg-degan, takut, muntah bahkan setiap bangun tidur,” kenang Dian.
Awalnya ia takut, jadi memilih konseling daring via chat dengan psikolog. Tiga sesi dijalaninya. Alasannya sederhana: “Karena aku terlalu takut untuk konsul langsung.”
Lama-lama, ia memberanikan diri ke Rumah Sakit Jiwa di Lawang, Malang. Setelah dua sesi, ia tak dirujuk ke psikiater atau dikasih obat. Tapi ia dapat pengalaman baru.
“Nih "fun fact" ya, aku juga baru tahu. Psikolog itu punya "ways" atau punya cara-cara yang tuh bahkan kita enggak kepikiran,” terang Dian.
Psikolognya menyuruh dia membaca komik dan menonton kartun masa kecil untuk melatih fokus kembali. Cara-cara itu, baginya, sangat membantu pemulihan dari depresi ringan hingga menengah yang ia alami.
Soal biaya, Dian menghabiskan Rp 145 ribu untuk tiga sesi daring. Sementara untuk tatap muka di RSJ, ia bayar Rp 100 ribu per sesi, di luar administrasi.
Artikel Terkait
Misteri 22 Luka Tusuk di Rumah Kosong: Bocah 9 Tahun Tewas di Cilegon
Tersangka Kasus Ijazah Jokowi Klaim Foto di Dokumen Itu Palsu
Sigit Putar Roda Jabatan, Tiga Kapolres Ibu Kota Diganti
Bahlil Tegaskan ke Senior Golkar: Jangan Terus Merasa Masih Ketua Umum