Jaksa mengungkapkan bahwa akar masalahnya bermula pada tahun 2018. Saat itu, PT Hutama Karya, melalui anak perusahaannya yang bernama PT HK Realtindo (HKR), menjalin kerja sama pengadaan lahan dengan PT STJ. Yang menjadi persoalan, aktivitas pengadaan lahan ini sama sekali tidak tercantum dalam dokumen perencanaan resmi perusahaan, yaitu Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) baik untuk PT Hutama Karya maupun PT HKR.
Masalah lain yang diungkap adalah ketidaksesuaian lokasi lahan yang dibeli. Pengadaan tanah dilakukan pada area yang tidak sesuai dengan hasil kajian yang telah disusun sebelumnya. Akibat dari penyimpangan ini, lahan yang telah dibeli dengan dana miliaran rupiah tersebut akhirnya mangkrak dan tidak dapat dimanfaatkan untuk tujuan apa pun.
Jaksa menjelaskan lebih detail bahwa lahan di dekat pintu keluar tol Kalianda seharusnya memiliki potensi untuk pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Kalianda Krakatau, yang dekat dengan kawasan wisata Krakatoa Nirwana Resort. Sementara itu, lahan di Bakauheni memiliki potensi pengembangan kawasan wisata Pantai Minang Rua. Namun, karena ketidaksesuaian lokasi, semua potensi pengembangan itu tidak dapat direalisasikan.
Akibat dari tindak pidana korupsi ini, korporasi PT STJ disebut-sebut telah diuntungkan secara finansial dengan nilai yang sama dengan kerugian negara, yaitu sebesar Rp 205.148.825.050.
Atas perbuatannya, Bintang Perbowo dan para pihak yang terlibat didakwa melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang dikaitkan dengan Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Artikel Terkait
Buruh Lampung Protes: Kenaikan UMP 2026 Dinilai Tak Sanggup Tanggung Beban Hidup
Pasca Banjir, Bantuan Hunian dan Dana Sewa Mulai Disalurkan ke Korban
Bayi 6 Bulan Ditemukan Sendirian di Kos Makassar, Ayahnya Bekerja Shift Malam
MUI Kritik Keras Pernyataan Romo Magnis Soal LGBT: Mengancam Masa Depan Generasi