Pergerakan IHSG di hari Senin nanti, 29 Desember, kemungkinan besar masih akan terbatas. Ini melanjutkan tren pelemahan dari perdagangan Rabu lalu, di mana indeks ditutup anjlok 0,55 persen ke posisi 8.537,9. Situasinya memang belum terlalu cerah.
Namun begitu, ada secercah angin segar dari luar negeri. Phintraco Sekuritas mencatat, sentimen eksternal terlihat lumayan kondusif. Pasar saham utama di Wall Street, misalnya, menutup pekan kemarin dengan catatan hijau. Penguatan itu terutama digerakkan oleh saham-saham sektor keuangan dan industri, yang memang kerap menunjukkan performa bagus di musim seperti ini.
Optimisme investor AS juga masih terjaga. Mereka masih menikmati dampak positif dari undang-undang pajak yang berlaku sejak Juli, belum lagi prospek pemangkasan suku bunga The Fed yang diyakini akan berlanjut hingga 2026.
Di sisi lain, ceritanya jadi berbeda untuk komoditas. Harga minyak mentah justru melemah. Penyebabnya sederhana: ada tanda-tanda kemajuan dalam perundingan damai antara Rusia dan Ukraina. Kalau perang mereda, ketegangan pasokan pun berkurang.
Sementara itu, emas malah melesat. Logam mulia ini bahkan mencetak rekor tertinggi baru, menyentuh USD 4.530 per troy ounce. Ketidakpastian global yang masih membayangi rupanya mendongkrak permintaan terhadap aset safe haven seperti ini.
Memasuki pekan terakhir tahun, ada satu hal yang mulai diantisipasi pelaku pasar: penguatan musiman. Fenomena yang biasa disebut "Santa Claus rally" ini kerap terjadi di penghujung tahun.
"Pada pekan ini, investor mengantisipasi potensi terjadinya Santa Claus rally, yang secara historis terjadi pada lima hari perdagangan tahun berjalan dan dua hari perdagangan tahun baru,"
Begitu penjelasan Phintraco Sekuritas dalam risetnya.
Artikel Terkait
Wall Street Berakhir Lesu, Pasar Tunggu Santa Claus Rally di Sisa 2025
Satgas Beras Beri Teguran ke 987 Pengusaha, Sementara China Pecahkan Rekor Kereta Cepat
Stasiun Jatake Tangerang Siap Beroperasi Awal 2026, Tampung 20 Ribu Penumpang Sehari
Emas Diproyeksikan Tembus Rp2,7 Juta, Didorong Gejolak Global dan Dolar AS yang Lesu