Namun begitu, bayangan pemilu sebelumnya masih jelas terlihat. Aung San Suu Kyi, mantan pemimpin sipil yang begitu dikagumi, masih mendekam di penjara. Partainya yang dulu sangat populer, sudah dibubarkan dan sama sekali tidak ikut serta dalam kontes kali ini.
Tak heran jika banyak yang menyangsikan legitimasi proses ini. Para aktivis, diplomat dari negara-negara Barat, sampai pimpinan lembaga HAM PBB sudah lebih dulu mengecam pemungutan suara bertahap selama sebulan ini. Menurut mereka, daftar pemilihnya dijejali sekutu militer, sementara pihak yang berseberangan pendapat ditindas dengan keras.
Di sisi lain, hasilnya sepertinya sudah bisa ditebak. Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (Union Solidarity and Development Party) yang pro-militer diprediksi akan keluar sebagai pemenang besar. Bagi para kritikus, kemenangan mereka nanti tak lebih dari sekadar penamaan ulang untuk pemerintahan militer yang sudah ada.
Realitasnya, Myanmar yang berpenduduk sekitar 50 juta jiwa ini masih berdarah-darah. Perang saudara belum usai. Dan di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak, pemungutan suara hari ini bahkan tidak akan digelar sama sekali. Sebuah gambaran yang kontras dengan janji "kembalinya demokrasi" yang digaungkan dari Naypyidaw.
Artikel Terkait
Istri di Depok Jalani Operasi Mata Diduga Akibat Pukulan Suami
Kemkomdig Turun Langsung, Bantu Aceh Tamiang Bangkit Pascabanjir
Detak Cemas di Kebun Raya Bogor Berakhir Pelukan Haru
Tiga Polisi Bogor Dihukum Berat Usai Prosedur Operasi Dipertanyakan Warga