Penerbitan SP3, lanjutnya, dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum. Namun, KPK mengklaim tetap terbuka jika ada informasi baru. "Kami terbuka. Jika masyarakat punya informasi baru terkait perkara ini, silakan sampaikan ke kami," ujarnya.
Perlu dicatat, wewenang penerbitan SP3 oleh KPK ini baru ada setelah revisi UU KPK pada 2019, tepatnya di Pasal 40 UU 19/2019.
Kerugian yang Disebut Lebih Besar dari e-KTP
Kasus ini pertama kali mencuat ke publik pada 3 Oktober 2017. Saat itu, KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman.
"Kami menetapkan ASW (Aswad Sulaiman) sebagai tersangka," ucap Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, di Gedung KPK Kuningan.
Yang membuat banyak orang tercengang, kerugian negara yang disebutkan waktu itu fantastis: Rp 2,7 triliun. Saut bahkan berani membandingkannya. Angka itu, katanya, lebih besar daripada kerugian dalam kasus korupsi e-KTP yang menggemparkan.
"Indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun. Itu berasal dari penjualan produksi nikel, yang didapat dari proses perizinan melawan hukum," jelas Saut kala itu.
Kini, dengan berakhirnya penyidikan melalui SP3, gugusan pertanyaan itu seolah menggantung. Menunggu kepastian baru atau sekadar jadi catatan kelam dalam pemberantasan korupsi.
Artikel Terkait
Ancol dan Ragunan Dibanjiri Pengunjung, Monas Justru Sepi di Libur Natal
Jakarta Ramai di Hari Natal, Ancol dan Ragunan Diserbu Puluhan Ribu Pengunjung
MAKI Siap Tempuh Jalur Hukum Usai KPK Hentikan Kasus Tambang Triliunan
Liburan Natal 2025: Destinasi Ibu Kota Dibanjiri Pengunjung, Tren Staycation Kian Menguat