Bulan Bintang dan Senjata: Ujian Berat Perdamaian Aceh di Tengah Bencana

- Jumat, 26 Desember 2025 | 13:50 WIB
Bulan Bintang dan Senjata: Ujian Berat Perdamaian Aceh di Tengah Bencana

Aksi di jalanan sejatinya menempatkan elit lokal Aceh di posisi dilematis. Bisa dibaca sebagai bentuk protes internal dari akar rumput terhadap pemimpin mereka sendiri yang kini berkuasa. Ada ketidakpuasan terhadap elit eks-kombatan yang dianggap lamban mewujudkan janji kesejahteraan lalu dimanfaatkan untuk menekan Jakarta.

Pola ancamannya makin rumit. Ia bertransformasi jadi ancaman hibrida, campuran aksi fisik dan serangan siber. Aksi simbolik di lapangan cuma materi awal, lalu diamplifikasi jadi konten provokatif di media sosial. Ranah digital kini jadi medan tempur baru, tempat narasi bohong menyebar lebih cepat dari bantuan logistik.

Alarm bahaya berbunyi lebih keras karena ini bukan cuma soal simbol. Ada temuan senjata api dan tajam di lapangan. Fakta ini menggeser konteksnya drastis dari sekadar "ekspresi politik" menjadi ancaman keamanan nyata. Kehadiran senjata di tangan sipil menunjukkan potensi kekerasan yang tak bisa ditoleransi.

Di sinilah negara sering dijebak taktik playing victim. Kelompok ini memancing aparat bereaksi keras, lalu memelintir penegakan hukum sebagai tindakan represif. Tujuannya cari simpati, delegitimasi aparat, dan buat negara ragu-ragu bertindak tegas.

Padahal, dari sudut pandang hukum, membiarkan senjata ilegal adalah kesalahan fatal. Negara punya kewajiban konstitusional untuk bertindak, mencegah eskalasi sebelum konflik terbuka terjadi lagi. Keraguan justru akan dibaca sebagai kelemahan.

Ketegasan yang Beradab

Menghadapi fenomena serumit ini, negara butuh keseimbangan sikap yang presisi. Respons tak boleh berdasar emosi sesaat, tapi pada kalkulasi strategis untuk jangka panjang. Ketegasan aparat mutlak diperlukan, tapi jangan sampai kehilangan sensitivitas terhadap sejarah luka masyarakat Aceh.

Inilah yang saya sebut "ketegasan yang beradab". Negara harus tegas menegakkan kedaulatan dan hukum bagi pelanggar, tapi tetap persuasif dalam pendekatan sosial ke masyarakat umum. TNI dan Polri harus hadir dengan wajah pelindung yang humanis.

Mereka harus memenangkan hati rakyat lewat kehadiran nyata dalam penanganan bencana. Di saat bersamaan, berani memutus mata rantai provokasi dari segelintir elite atau kelompok sempalan. Sinergi antara penegakan hukum dan pendekatan kesejahteraan adalah kuncinya.

Perdamaian Aceh adalah capaian strategis nasional. Harganya terlalu mahal untuk dipertaruhkan. Ia harus dijaga dengan kejelasan batas: mana ekspresi demokrasi yang sah, dan mana provokasi yang mengancam fondasi berbangsa. Kita harus memotong siklus ini sebelum simbol berubah jadi narasi kebencian, lalu narasi menjelma jadi kekerasan fisik.

Menjaga Aceh berarti menjaga warisan damai yang lahir dari penderitaan bersama. Aceh terlalu berharga untuk dikorbankan lagi oleh ambisi segelintir pihak. Kita tak boleh kalah oleh strategi normalisasi simbol separatis dan provokasi sesaat yang menari di atas penderitaan rakyat. Negara harus hadir utuh: tegas, tapi juga mengayomi. Memastikan bendera Merah Putih tetap menjadi satu-satunya payung kedaulatan di tanah rencong.

Khairul Fahmi. Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).


Halaman:

Komentar