Polemik Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Analisis dan Seruan Rekonsiliasi
Akademisi Universitas Batam Kepulauan Riau, Dr. Fendi Hidayat, memberikan pandangannya mengenai pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yang menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto. Menurutnya, isu ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dan objektif, bukan semata-mata dari sisi emosional atau pengalaman personal.
Fendi menjelaskan bahwa setiap pandangan mengenai tokoh besar bangsa seperti Soeharto dan Soekarno seharusnya ditempatkan dalam bingkai kebangsaan yang utuh. Pernyataan Megawati tentu memiliki latar sejarah dan emosi yang sangat personal. Namun, dari perspektif kebangsaan, menilai tokoh sejarah besar tidak bisa hanya dari hubungan pribadi, melainkan juga dari kontribusi objektif mereka terhadap negara.
Bahaya Mengungkit Luka Lama Sejarah
Fendi Hidayat mengingatkan bahwa mengungkit luka lama antara dua tokoh besar bangsa seperti Soekarno dan Soeharto justru berpotensi membuka kembali perpecahan psikologis di tengah masyarakat. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berdamai dengan sejarahnya sendiri, dengan segala luka, konflik, dan jasa yang menyertainya.
Dia menilai baik Soekarno maupun Soeharto memiliki peran yang sama pentingnya dalam perjalanan panjang Indonesia. Soeharto punya andil besar dalam pembangunan dan stabilitas nasional selama puluhan tahun. Begitu pula Soekarno, dengan peran monumental sebagai Proklamator dan penggagas jati diri bangsa.
Artikel Terkait
Dadu Gurak dan Kopi Pak Mantir: Saat Hukum Negara Tak Sampai ke Teras
Program Makan Bergizi: Ketika Jerawat Remaja Jadi Target dan Nanas Dibagi untuk Lima Hari
Muslim Arbi Desak Prabowo Pecat Bahlil, Sebut Tambang Picu Perpecahan NU
Dari Piagam Madinah ke Nakba: Jejak Panjang Pengkhianatan dan Perjuangan di Tanah Palestina