Reformasi Otonomi Daerah: Solusi Efisiensi Anggaran & Pencegahan Raja Kecil

- Sabtu, 01 November 2025 | 07:25 WIB
Reformasi Otonomi Daerah: Solusi Efisiensi Anggaran & Pencegahan Raja Kecil

Reformasi Otonomi Daerah: Menuju Efisiensi dan Keadilan Pelayanan Publik

Oleh: M. Isa Ansori

Sinopsis: Evaluasi Otonomi Daerah Setelah 25 Tahun

Artikel ini mengusulkan reformasi sistem otonomi daerah untuk menciptakan tata kelola yang lebih efisien, adil, dan berorientasi pada pelayanan publik. Gagasan utamanya adalah mengubah peran pemerintah provinsi menjadi lembaga koordinatif, bukan eksekutif, dengan gubernur yang ditunjuk pemerintah pusat. Langkah ini diyakini dapat menekan biaya politik, mengurangi tumpang tindih kewenangan, dan mempercepat pelayanan di tingkat kabupaten/kota.

Otonomi Daerah Pasca Reformasi: Efektifkah?

Sudah lebih dari 25 tahun Indonesia menjalankan otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi. Tujuannya mulia: mendekatkan pelayanan, memperkuat partisipasi, dan mewujudkan keadilan sosial. Namun, evaluasi menunjukkan bahwa sistem ini justru sering menimbulkan ketidakefisienan baru dan memunculkan fenomena "raja-raja kecil" di daerah.

Provinsi Sebagai Koordinator, Bukan Eksekutor

Untuk meningkatkan efisiensi, struktur pemerintahan daerah perlu ditinjau ulang. Gagasan yang patut dipertimbangkan adalah menjadikan pemerintah provinsi sebagai lembaga koordinatif. Dalam model ini, kabupaten dan kota menjadi pusat eksekusi layanan publik, sementara provinsi fokus pada harmonisasi kebijakan, pemerataan antarwilayah, dan sinkronisasi dengan kebijakan nasional.

Mengapa Gubernur Sebaiknya Ditunjuk, Bukan Dipilih?

Jika gagasan ini diterapkan, posisi gubernur tidak perlu lagi dipilih melalui pemilihan langsung yang mahal. Gubernur dapat ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai perpanjangan tangan untuk memastikan koordinasi kebijakan nasional. Penunjukan gubernur ini bukan kemunduran demokrasi, melainkan penataan logis dalam sistem pemerintahan bertingkat.

Efisiensi Anggaran Pilkada yang Signifikan

Pemilihan langsung gubernur menghabiskan biaya besar tanpa dampak langsung pada kesejahteraan warga. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan biaya Pilkada Serentak 2020 mencapai lebih dari Rp20 triliun. Dengan meniadakan pilkada gubernur, dana yang signifikan dapat dialihkan ke sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan.


Halaman:

Komentar