MURIANETWORK.COM - Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, banyak pihak mengkhawatirkan kembali munculnya dwifungsi ABRI atau prajurit militer bisa lagi duduk pada jabatan sipil.
Imparsial menggagas petisi dalam laman change.org terkait penolakan agenda terselubung dalam revisi UU TNI yang berpotensi memunculkan kembali dwifungsi ABRI. Sebanyak 2.976 orang telah mendatangani petis itu. Bahkan, terdapat 174 tokoh juga mendorong adanya petisi ini.
Mereka di antaranya Nursyahbani Katjasungkana (Pendiri & Pembina IMPARSIAL); Usman Hamid, Aktivis HAM;
Pdt. Ronald Richard Tapilatu Rafendi Djamin; Al A'raf, Pengamat Pertahanan dan Keamanan; Pdt. Penrad Siagian, S.Th., M.Si., Teol; KH Rakhmad Zailani Kiki; Prof. Dr. dr. A. Daldiyono; Sri Lestari Wahyuningroem, Ph.D., Dosen Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran; Prof. Dr. Aan Eko Widiarto, S.H.M.Hum., Dosen Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya.
Dalam petisinya, Imparsial menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. Justru akan melemahkan profesionalisme militer. Sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil.
"Dalam konteks reformasi sektor keamanan, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer," kata Pendiri & Pembina IMPARSIAL, Nursyahbani Katjasungkana dalam petisi pada laman change.org, Senin (17/3).
Ia menjelaskan, agenda revisi UU Peradilan Militer lebih penting ketimbang UU TNI, karena agenda itu merupakan kewajiban konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Reformasi peradilan militer merupakan mandat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI serta Putusan Nomor 27/PUU-XIX/2021.
Sebab, RUU TNI akan mengembalikan Dwifungsi TNI, yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Perluasan penempatan TNI aktif itu tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda.
"Selain itu merampas jabatan sipil dan memarginalkan Perempuan dalam akses posisi-posisi strategis, termasuk di BUMN/BUMD dan lainnya," ujarnya.
Tak hanya itu, perluasan jabatan sipil dalam RUU TNI itu adalah dengan menempatkan militer aktif di Kejaksaan Agung hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ia mengingatkan, TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang, sedangkan Kejaksaan Agung, adalah lembaga penegak hukum. Maka, salah jika anggota TNI aktif duduk di institusi Kejaksaan Agung.
Artikel Terkait
Indonesia Dilarang Panggung Senam Dunia? Erick Thohir Beberkan Ancaman Gugatan Israel
Misteri Kematian Wanita Hamil di Kamar Hotel Palembang, Siapa Dalang di Balik Tragedi Ini?
Waspada! Purbaya Bocorkan Nasib Harga Rokok di 2026, Hasilnya Mengejutkan
Tertahan Banjir? Begini Strategi Prabowo Selesaikan Proyek Giant Sea Wall