Microtourism tidak untuk pamer status. Ia rendah hati dan bersahabat. Bahkan bisa menyuntikkan napas bagi ekonomi lokal. Di sini, liburan bukan soal menunjukkan siapa kita, tapi bagaimana kita hadir dan mensyukuri momen.
Ironisnya, mereka yang paling lelah justru paling jarang liburan. Buruh harian, pekerja informal, keluarga dengan penghasilan pas-pasan mereka inilah yang paling butuh jeda itu. Tapi waktu seolah tak memberi izin untuk berhenti lelah.
Meski begitu, mereka tak menyerah. Mereka mencari celah. Sekadar duduk di taman, menonton anak-anak berlarian. Merayakan kebersamaan dengan cara yang sederhana dan jujur. Itulah liburan versi mereka.
Tidak perlu tiket pesawat atau reservasi hotel. Yang penting bisa berkumpul, mendengar tawa, tanpa menggerus anggaran belanja bulanan.
Liburan Sebagai Doa Kecil
Meski keadaan ekonomi mengimpit, esensi liburan tak boleh mati. Justru ini tantangan untuk menafsir ulang maknanya. Liburan tak selalu berarti pergi jauh. Bisa jadi ia soal pulang pulang kepada diri sendiri, kepada orang terdekat, kepada detil kehidupan yang sering kita lewati tanpa sadar.
Nyanyian Iwan Fals itu masih relevan. Ia mengingatkan, di tengah hidup yang sibuk dan keras, kita tetap butuh pelukan dari waktu. Dari situlah kita menemukan makna terdalam liburan: sebuah doa kecil agar hidup, betapa pun beratnya, tetap manusiawi.
Mari rayakan liburan seperti kita merayakan hidup itu sendiri.
Artikel Terkait
Serangan Drone Guncang Kediaman Putin di Tengah Masa Genting Perundingan
Bencana Sumatera: Alarm Mahal dari Pembangunan yang Abai Lingkungan
Gempa 2,5 Magnitudo Guncang Gayo Lues Dini Hari
Gelora Tanpa Kursi, Lobi Pilkada Lewat Koalisi