Orasi Budaya Aendra Medita: Saat Media, Medsos, dan Manusia Kehilangan Arah
Sabtu petang, 27 Desember 2025, suasana di DC Corner, Jalan Ranggamalela, Dago Bandung, cukup hangat. Acara bertajuk "Refleksi Akhir Tahun 2025 Plus Harapan Tahun 2026" yang digagas Jala Bhumi Kultura (JBK) sedang berlangsung. Panggung sempat diramaikan oleh monolog Hermana HMT, pantomim Ismime, serta penampilan Duo Jos Dumber-Dumbers dan gerak tari kuartet Enung, Lina, Indri, dan Risma. Namun, puncak malam itu adalah Orasi Budaya yang disampaikan dengan lugas oleh Aendra Medita.
Kita hidup di zaman yang serba cepat. Informasi melimpah ruah, tapi kebijaksanaan justru langka. Semua orang bisa bicara, tapi sedikit yang benar-benar mau mendengar. Berita datang setiap detik, namun kebenaran terasa makin menjauh.
Dulu, media ibarat mercusuar di tengah gelap. Tak selalu sempurna, tapi setidaknya memberi pegangan. Sekarang? Mercusuar itu berkedip-kedip. Kadang menyala, kadang padam. Bahkan, tak jarang ikut tenggelam diterjang gelombang.
Banyak yang bertanya-tanya, kenapa media seolah rontok? Jawaban gampangnya: media sosial. Teknologi. Algoritma. Tapi menurut Medita, itu jawaban yang malas. Bukan medsos yang jadi biang kerok utama.
Media rontok karena kehilangan kompas moral dan intelektualnya. Ia kehabisan arah.
Medsos sebenarnya cuma cermin. Dan bayangan yang terpantul di sana seringkali menyakitkan. Kita lihat media yang terburu-buru, lebih takut kehilangan klik daripada kehilangan kepercayaan. Sibuk lomba cepat, lupa bertanya: "Ini beneran nggak, sih?"
Judul dibesar-besarkan. Emosi diperas, amarah sengaja dipelihara. Soalnya, kemarahan itu murah. Dan laku keras.
Di sinilah tragedi dimulai. Saat media mulai jualan emosi, ia berhenti merawat nalar. Ketika mengejar viral, verifikasi ditinggalkan. Begitu tunduk pada algoritma, tanggung jawab sosial pun dilepas.
Harus diakui, Indonesia sekarang nggak kekurangan informasi. Yang kurang adalah ketenangan berpikir. Setiap hari kita disuguhi opini yang dibungkus seolah fakta. Dijejali potongan realitas yang bikin marah atau takut, tanpa konteks dan kedalaman. Dan media sering ikut nimbrung dalam pesta kebisingan itu.
Padahal, tugas media seharusnya menjernihkan. Bukan menambah keruh. Bukan menyulut api, tapi membantu kita melihat mana asap dan mana sumber apinya. Sayangnya, ketakutan ditinggal audiens, takut angka turun, takut kalah cepat perlahan menggerogoti integritas.
Di tengah semua ketakutan itu, media lupa satu hal: kepercayaan nggak dibangun dari kecepatan, tapi dari konsistensi pada kebenaran.
Nah, soal media sosial. Medsos memang memberi ruang luar biasa. Membuka pintu bagi suara-suara yang dulu dibungkam. Itu awalnya adalah harapan. Tapi tanpa literasi, kebebasan bisa berubah jadi kekacauan.
Artikel Terkait
Janji Pemerintah Terendam Banjir, Respons Bencana Sumatra Masih Lambat
Gelombang Kiriman Siklon 96S Diduga Tenggelamkan KM Putri Sakinah di Labuan Bajo
Dubes RI Ingatkan Warga: Tawaran Kerja di Kamboja Bisa Jerumuskan ke Sindikat Scam
Keluarga Tangerang Reli Naik Turun Kereta Demi Pesona Kota Tua