Detaknya mengikuti irama server komputer yang tersebar di seluruh dunia. Ditenagai kode-kripto yang rumit, ia menjanjikan kebebasan sebuah kekayaan di luar kendali bank sentral. Tapi di balik kilau janji itu, ada rimba raya yang hampir tanpa hukum. Cryptocurrency, aset yang lahir dari semangat desentralisasi, kini berhadapan dengan tuntutan yang paling sentral: perlindungan konsumen.
Pagi 24 Desember 2025 lalu, tak cuma soal rencana liburan. Sebuah pengumuman dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengguncang pusat gravitasi investasi digital di Indonesia. Keluarlah daftar putih resmi. Dua puluh sembilan nama tercatat, termasuk Tokocrypto, sebagai Penyelenggara Perdagangan Aset Keuangan Digital (PAKD) atau calon penyelenggaranya yang sah. Platform di luar daftar itu? Bukan cuma ilegal. Mereka adalah zona bahaya pidana.
Ini garis batas baru. Sejak pengawasan beralih dari Bappebti pada 10 Januari 2025, kripto tak lagi sekadar komoditas. Statusnya kini aset keuangan digital, berada di bawah rezim ketat OJK. Dan regulator menarik senjata paling tajam: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Bayangkan ancamannya. Menyelenggarakan perdagangan aset kripto tanpa izin bisa berujung di sel penjara. Minimal lima tahun. Maksimal sepuluh. Denda mengintai, mulai dari Rp1 miliar hingga angka fantastis, Rp1 triliun. Pasal 304 UU P2SK itu bukan gertakan. Itu penanda era baru, di mana main gelap di pasar kripto bukan lagi cuma risiko rugi, tapi risiko kehilangan kemerdekaan.
Bagi Calvin, daftar putih itu lebih dari sekadar daftar. Ia fondasi pertama untuk kepercayaan. Memberi kepastian hukum sekaligus jadi perisai bagi masyarakat yang kerap bingung membedakan platform bonafid dari yang penuh jebakan. Industri butuh ruang tumbuh, ya. Tapi pertumbuhan liar tanpa perlindungan hanya akan menuai bencana.
Namun begitu, gelombang perubahan tak cuma datang dari regulator. Di ruang lain, di jantung salah satu organisasi Islam terbesar negeri ini, sebuah diskusi tak biasa sedang berlangsung. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah membedah teknologi finansial berbasis blockchain, cryptocurrency, dan Bitcoin. Ini bukan fatwa. Ini kajian ilmiah yang kritis, sebuah upaya memahami gelombang baru secara utuh tanpa terburu-buru atau ikut arus buta.
Artikel Terkait
Dua Kali Guncang, Warga Agam Berhamburan Keluar Rumah
Pemerintah Pacu Pembangunan 15.000 Hunian untuk Korban Bencana
Tim Unusa Bantu Pulihkan Bireuen: Dari Trauma Healing hingga Air Bersih
Kapolsek dan 11 Anggotanya Dicopot Usai Bandar Narkoba Kabur, Polsek Dibakar Massa