Papua dan Mimpi Kemerdekaan lewat Sawit
✍🏻 AS Laksana
Pertengahan Desember lalu, di Istana Negara, Presiden Prabowo kembali menggaungkan sebuah kata yang sudah tak asing: kemandirian. Ia menyampaikannya kepada para kepala daerah se-Papua. Anda bisa menyaksikan sendiri rekamannya.
Gagasan kemandirian untuk Papua itu ia kemas dengan janji jalan aspal, cahaya matahari, aliran listrik dari tenaga surya dan air, serta ketahanan pangan. Semua terdengar mulia.
Tapi, kalau dicermati, fokus utamanya sebenarnya ada di satu hal: energi.
Begitu menyebut sawit, tebu, dan singkong, nada bicaranya terdengar seperti sedang membacakan rumus matematika yang tak terbantahkan. Menteri ESDM Bahlil pernah menyebut, Indonesia menghabiskan sekitar Rp520 triliun per tahun untuk impor bahan bakar. Potong separuh, katanya, akan terjadi penghematan besar. Bayangkan jika dihapus sama sekali. Imajinasi politiknya lalu melompat: dengan tiga komoditas tadi, setiap kabupaten di Indonesia bisa dapat jatah Rp1 triliun.
Visinya terlihat rapi di atas kertas. Sayangnya, cara berpikirnya terasa dangkal. Penalarannya tumpul semirip tumpulnya dengan pernyataan bahwa kita tak perlu takut deforestasi karena “sawit juga pohon, ada daunnya”.
Ia bahkan memasang target yang ambisius: tahun depan impor solar dihentikan. Empat tahun berikutnya, giliran bensin. Timeline itu menuntut kecepatan dan ketepatan, sesuatu yang sayangnya bukan jadi ciri khas birokrasi kita.
Lalu, benarkah sawit, tebu, dan singkong sanggup memikul beban seberat itu? Itu pertanyaan besar yang lain lagi.
Artikel Terkait
Bethel Indonesia Melesat, Pantekosta Tergelincir: Peta Jemaat Gereja 2025
Bowo dan Politik Matrix: Ketika Harapan Rakyat Tertahan di Labirin Kekuasaan
Matahari Kita, Nilai Tambah Mereka: Ironi Ekspor Listrik Surya ke Singapura
Jogja Diserbu, Bali Tersalip sebagai Primadona Liburan Akhir Tahun