Pengalaman serupa berulang dari warga lain. Hampir tiap hari, setiap lewat depan rumah, selalu ada senyum, sapaan, atau sekadar anggukan. Gestur kecil itu yang bikin hati merasa diterima. Perlahan aku sadar, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perbedaan bahasa: rasa kemanusiaan yang hangat.
Bantuan datang dalam bentuk yang tak terduga. Kadang ada yang tiba-tiba menghampiri dan nawarin tumpangan. Lain waktu, ada yang sekadar nanya kabar, memastikan aku baik-baik saja di tempat baru. Aku sempat merasa malu dan sungkan, sih. Tapi di sisi lain, terharu juga. Ternyata kepedulian nggak selalu lahir dari latar belakang yang sama. Ia bisa muncul dari ketulusan biasa, dari perhatian yang sederhana.
Semakin hari, semua jadi semakin nyata. Kedekatan itu tumbuh dari interaksi-interaksi kecil yang terus berulang. Aku belajar satu hal: kedekatan dan rasa kekeluargaan nggak akan pernah bisa dihalangi oleh perbedaan bahasa. Justru, dari situlah kedekatan itu dibangun. Dari usaha saling membuka, saling memahami.
Senyum, sapaan, tegur sapa itu adalah bahasa universal yang mampu memecah sekat perbedaan. Di Pangandaran, aku mungkin belum mengerti setiap kata dalam bahasa Sunda. Tapi aku sekarang tahu, ketulusan punya caranya sendiri untuk bisa dimengerti oleh siapa saja.
Artikel Terkait
Analis Peringatkan Prabowo: 2026 Bisa Jadi Medan Pembunuhan Politik
Seragam Korpri Basah Kuyup, Petugas Damkar Lebak Tinggalkan Pelantikan Demi Padamkan Api
Waspada Kabut Tebal dan Hujan Lebat, Pengendara di Puncak Pass Diimbau Ekstra Hati-hati
Dapur PMBA Unusa di Aceh: Titik Terang bagi Kelompok Rentan Pasca-Bencana