Makanya, nggak heran kalau banyak mahasiswa ber-IPK nyaris sempurna justru merasa hampa. Mereka jago memenuhi standar, tapi jarang dapat kesempatan untuk benar-benar mengenal diri sendiri. Kelelahan dan burnout dianggap biasa, asalkan nilai tetap di atas. Mental yang rapuh seolah jadi harga wajib yang harus dibayar demi gelar "berprestasi".
Di sisi lain, kita sering lupa satu hal. Kehidupan setelah wisuda nggak berjalan pakai sistem penilaian kampus. Dunia nyata jarang sekali menanyakan IPKmu. Yang dituntut justru kemampuan adaptasi, cara berkomunikasi, dan ketangguhan untuk bangkit setelah terjatuh. Kemampuan-kemampuan ini nggak akan pernah kamu temukan di transkrip, tapi justru inilah yang menentukan apakah seseorang bisa bertahan dan berkembang.
Saya bukan bilang IPK nggak penting. Ia tetap relevan dan patut diperjuangkan. Tapi ketika IPK dijadikan satu-satunya tolok ukur kesuksesan, yang kita ciptakan adalah generasi yang cerdas di atas kertas tapi rapuh jiwanya. Risikonya jelas: lulusan yang takut salah, enggan mengambil risiko, dan selalu merasa dirinya kurang.
Menurut saya, sudah waktunya kita ubah cara pandang ini. Sukses seharusnya tidak mengorbankan kesehatan mental. Pendidikan itu kan mestinya membantu manusia tumbuh secara utuh, bukan cuma unggul secara akademis. Kampus, keluarga, sampai masyarakat luas perlu mulai menghargai proses, bukan cuma berfokus pada hasil akhir.
Pada akhirnya, mungkin keberhasilan sejati bukan terletak pada angka di transkrip. Tapi pada bagaimana kita menjalani hidup setelahnya dengan utuh. Kalau sebuah sistem hanya menghasilkan angka indah namun meninggalkan manusia yang lelah dan kehilangan arah, maka yang perlu kita pertanyakan adalah sistemnya. Bukan mahasiswanya.
Artikel Terkait
Ahli Digital Forensik Serukan People Power untuk Makzulkan Gibran pada 2026
Korban Tewas Bencana Sumatera Tembus 1.137 Jiwa, 163 Masih Hilang
PDIP Tolak Tegas Wacana Pilkada Lewat DPRD, Sebut Langsung Harga Mati
Ketika Cinta Dinilai Berlebihan: Dilema Perempuan dalam Ruang Emosi yang Tak Setara