Pemerintah perlu berhenti memandang hutan cuma sebagai cadangan lahan atau komoditas dagang. Hutan harus dilihat sebagai infrastruktur ekologis yang vital sama pentingnya dengan jalan tol atau bendungan. Merusak hutan demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek itu ibarat menggerogoti pondasi rumah sendiri demi kayu bakar.
Nyatanya, deforestasi sudah mengubah peta bencana untuk selamanya. Yang dulu siklus musiman, sekarang jadi kejadian tahunan. Skalanya meluas, lintas kabupaten. Alam sudah berkali-kali kasih peringatan dengan bahasa yang makin keras dan mematikan. Pertanyaannya sekarang: apa kita punya nyali untuk berhenti pura-pura tidak tahu?
Kita terjebak dalam retorika "pembangunan demi kesejahteraan". Tapi kesejahteraan macam apa ini? Kalau setiap tahun orang harus mengungsi karena rumahnya terendam lumpur? Kalau sawah-sawah tertimbun tanah dari bukit gundul? Keuntungan dari eksploitasi sering cuma dinikmati segelintir orang, sementara bebannya ditanggung rakyat kecil yang tak punya pilihan.
Menagih Janji, Menyelamatkan Masa Depan
Sumatra ada di persimpangan. Jika penebangan hutan terus dibiarkan, dan krisis ini cuma ditanggapi dengan retorika, maka pulau ini tak cuma kehilangan hijaunya pepohonan. Ia akan kehilangan masa depannya.
Generasi mendatang mungkin cuma kenal hutan Sumatra dari foto usang di buku sejarah. Sementara mereka hidup dalam ketakutan tiap kali langit mendung. Padatnya penduduk di hilir tanpa perlindungan hulu adalah bom waktu. Detaknya makin kencang.
Bencana silih berganti ini adalah konsekuensi logis dari pilihan kita. Kita tak bisa lagi bersembunyi di balik kata "musibah" untuk menutupi kegagalan. Setiap pohon yang ditebang di hulu adalah ancaman bagi nyawa di hilir. Alam sudah tunjukkan batasnya. Dan ketika bencana berikutnya datang dan itu hampir pasti kita harus jujur mengakui: ini buah dari keserakahan yang kita biarkan tumbuh subur di tanah Andalas yang kian malang ini.
Terakhir: Ujian bagi Kemanusiaan Kita
Jika tak ada langkah berani untuk moratorium total dan restorasi masif, Sumatra akan terus hidup di bayang-bayang bencana. Kita butuh lebih dari pidato atau seremoni tanam pohon yang artifisial. Kita butuh pengakuan jujur: model ekonomi kita saat ini sedang membunuh kita perlahan.
Pada akhirnya, keselamatan Sumatra adalah ujian bagi kemanusiaan kita sendiri. Bisakah kita berhenti mengeruk keuntungan dari kehancuran? Atau kita akan biarkan anak cucu mewarisi tanah yang subur hanya dalam ingatan, tapi gersang dan mematikan dalam kenyataan?
Jawabannya tidak tertulis di atas kertas kontrak konsesi. Tapi di kedalaman hutan-hutan kita yang masih tersisa. Selamatkan hulu sekarang, atau hilir akan selamanya jadi kuburan bagi harapan.
"Dosen Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat.
Artikel Terkait
Pekerja India Didenda Rp 5,2 Juta Usai Buang Air Besar di Depan Marina Bay Sands
Sapaan Teteh dan Bahasa Hati di Pangandaran
Ahli Digital Forensik Serukan People Power untuk Makzulkan Gibran pada 2026
Korban Tewas Bencana Sumatera Tembus 1.137 Jiwa, 163 Masih Hilang