Pesantren, Hormat, dan Dinamika Kuasa
Bicara soal pesantren, yang langsung terbayang adalah kesederhanaan, keikhlasan, dan adab santri yang tulus kepada kiainya. Hubungan mereka sering digambarkan begitu indah: santri sowan, mencium tangan guru, patuh pada nasihat. Di mata publik, pesantren adalah benteng moral, penjaga tradisi keilmuan Islam di tengah arus perubahan yang kian deras.
Tapi, ada sisi lain yang jarang dibicarakan. Narasi ideal itu kadang menutupi dinamika kuasa yang rumit. Apa jadinya bila penghormatan berubah jadi ketakutan? Bila kepatuhan mematikan ruang bertanya? Dan ketika figur kiai menjadi satu-satunya pusat keputusan, muncullah pertanyaan yang menggelitik: apakah di balik itu semua ada aroma feodalisme yang perlu kita cermati ulang? Pertanyaan ini penting. Bukan untuk menjatuhkan, tapi justru untuk merawat pesantren agar tetap relevan dan adil bagi semua penghuninya.
Feodalisme, Seperti Apa Wujudnya di Pesantren?
Feodalisme, sederhananya, menggambarkan struktur kekuasaan yang sangat hierarkis. Kekuasaan terpusat pada segelintir elite, sementara yang di bawah harus patuh, hampir tanpa celah untuk bersuara berbeda. Dalam konteks kekinian, feodalisme tak selalu soal tanah dan tuan. Ia bisa muncul dalam relasi yang terlalu kaku, di mana kritik mudah dicap sebagai pembangkangan.
Nah, dalam beberapa praktik, pola semacam ini bisa saja muncul di lingkungan pesantren. Kiai bukan cuma guru ngaji. Ia seringkali menjadi pengendali hampir segalanya: dari kurikulum, urusan sehari-hari santri, hingga hal-hal yang sebenarnya bisa dibicarakan bareng. Ketika satu kata kiai dianggap final untuk segala hal, di situlah letak persoalannya. Penghormatan yang mulia berpotensi bergeser menjadi pola hubungan yang feodal.
Jangan Sampai Salah Paham: Soal Adab dan Sanad
Tapi tunggu dulu. Tidak semua bentuk kepatuhan itu feodal. Itu klaim yang gegabah. Dalam tradisi pesantren, rasa hormat santri punya akar yang dalam: konsep adab dan sanad keilmuan. Ilmu agama itu bukan cuma transfer teks, tapi juga soal keteladanan. Santri diajari bahwa gurunya adalah penerus mata rantai ilmu yang terjaga.
Otoritas seorang kiai juga tidak jatuh dari langit. Ia dibangun lewat perjalanan panjang menuntut ilmu, pengabdian, dan pengakuan dari guru-guru sebelumnya. Kiai menjadi rujukan bukan semata karena jabatannya, tapi terutama karena kedalaman ilmu dan akhlaknya. Banyak kiai yang justru menjadi pembela wong cilik, penengah konflik, penggerak solidaritas. Sisi inilah yang bikin pesantren tetap dipercaya.
Namun begitu, masalah mulai mengintai ketika otoritas keilmuan itu berubah wujud menjadi otoritarianisme sosial. Gejalanya bisa beragam. Kritik ilmiah dari santri, sekalipun disampaikan dengan sopan dan berdasar, bisa dianggap kurang ajar. Penunjukan pengurus kadang lebih mengutamakan kedekatan emosional, bukan kapasitas. Alumni yang membawa gagasan pembaruan kerap merasa dipinggirkan, bahkan dicap tidak loyal.
Budaya dialog pun melemah. Yang menguat justru budaya "asal ikut" dan "asal bapak senang". Pola seperti ini, kalau dibiarkan, merugikan semua pihak. Santri terpenjara, sementara pesantren sendiri kehilangan kesempatan untuk mendapatkan ide-ide segar yang justru sangat dibutuhkan di zaman sekarang.
Artikel Terkait
Surat Umar bin Khattab yang Mengalirkan Kembali Sungai Nil
DPO Lampung Tewas Usai Baku Tembak dengan Polisi di Jalan Sutami
Korban Tewas Banjir Sumatera Tembus 1.137 Jiwa, 163 Masih Hilang
Blok M Melesat: Libur Natal 2025 Picu Keramaian dan Antrean Panjang