Dampaknya tentu tak main-main. Ini bukan cuma soal tata kelola lembaga. Ketika hukum terhisap ke dalam pusaran politik, pelanggaran HAM jadi risiko nyata. Menjelang akhir 2025, berbagai indikator menunjukkan penurunan kualitas negara hukum. Pembatasan kekuasaan pemerintah melemah, perlindungan hak warga pun terkikis. Kelompok kecil dan rentan selalu jadi korban pertama.
Lalu, bagaimana dengan lembaga peradilan? Tekanan kekuasaan berpotensi besar menggerogoti independensinya. Hakim dan penegak hukum terjepit dalam dilema: menjaga integritas atau mengikuti kemauan penguasa. Akibatnya, putusan hukum kerap dicurigai publik. Bukan dianggap sebagai pencarian keadilan, tapi hasil kompromi politik. Wibawa hukum pun anjlok.
Padahal, sejak era reformasi, Mahkamah Konstitusi didesain sebagai benteng terakhir. Saat putusannya diabaikan atau disiasati dengan regulasi baru, yang terancam bukan cuma MK. Prinsip negara hukum itu sendiri yang digerogoti. Jika dibiarkan, konstitusi bisa jadi cuma dokumen mati. Simbol yang bisa dibengkokkan sesuai selera.
Di tengah situasi seperti ini, peran masyarakat sipil jadi krusial. Sejarah membuktikan, demokrasi butuh kritik publik, konsolidasi, dan tekanan moral. Ini bukan ancaman, justru penopang agar kekuasaan tetap di koridor yang benar. Partisipasi warga adalah pengingat agar hukum kembali ke khittahnya: berpihak pada keadilan.
Jadi, persoalan kita sekarang lebih dari sekadar regulasi atau bagi-bagi jabatan. Ini soal arah bangsa. Mau dibawa ke mana? Apakah hukum akan terus hidup dalam bayang-bayang kekuasaan, atau kita berani menjadikannya panglima keadilan? Jawabannya akan menentukan nasib demokrasi dan martabat kita sebagai negara hukum.
Artikel Terkait
Ayah Absen di Rumah: Fenomena Baru yang Menggerus Ketahanan Keluarga
Ribuan Tawon Serbu Jembatan Cisomang, Lalu Lintas Tak Terganggu
Durian dari Warga Gayo Lues untuk Awak Helikopter Bantuan
Guru Lelah, Istilah Berganti: Rebranding atau Pengaburan Masalah?