Mengapa Ingat Mati Justru Jadi Tanda Kecerdasan Sejati?

- Rabu, 24 Desember 2025 | 14:50 WIB
Mengapa Ingat Mati Justru Jadi Tanda Kecerdasan Sejati?

Dalam riwayat lain, sabda beliau juga menggambarkan hal serupa:

“Orang cerdas adalah orang yang rendah diri dan beramal untuk kehidupan setelah kematian, dan orang lemah adalah orang yang mengikutkan dirinya pada hawa nafsunya dan berangan-angan atas Allah.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Jadi, jelas ya. Kecerdasan sejati bukan diukur dari gelar akademik. Bukan. Bisa saja seseorang punya sederet gelar, tapi hatinya kosong dari iman, dan enggan tunduk pada syariat Islam. Itu bukan kecerdasan.

Orang cerdas justru adalah mereka yang menggunakan akalnya untuk sampai pada satu titik: keimanan kepada Allah SWT. Akal sehatnya membimbingnya untuk mengenal Sang Khaliq, Sang Pengatur alam semesta. Melalui pengamatan, penelitian, dan perenungan mendalam terhadap keteraturan alam, dia sampai pada kesimpulan bahwa semua ini pasti ada Penciptanya. Yaitu Allah SWT yang Maha Esa.

Dari situ, dia sadar posisinya. Bahwa dirinya adalah makhluk. Dan sudah menjadi konsekuensi logis, makhluk harus tunduk pada aturan Penciptanya. Itulah kecerdasan yang sesungguhnya. Kecerdasan yang membawa pada iman, yang mampu mengendalikan nafsu, dan yang mendorong untuk taat menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya.

Sementara gelar akademik? Itu hanya aksesori. Hiasan. Tidak menjamin apa-apa tentang hakikat kecerdasan seseorang.

Lantas, bagaimana caranya agar kita bisa menjadi orang yang cerdas? Upayanya sederhana tapi butuh konsistensi. Perbanyaklah bekal. Kumpulkan amal saleh sebanyak-banyaknya. Dengan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Bahkan dalam hal sekecil membuang duri dari jalanan, jika diniatkan karena Allah, itu adalah bekal.

Maka, berbahagialah orang-orang yang termasuk dalam golongan ini. Orang-orang yang selalu mengingat mati, lalu terdorong untuk beramal saleh. Mereka sedang menyiapkan bekal terbaik untuk perjalanan panjang nan abadi. Wallahu’alam.

Ayu Mela Yulianti, S.Pt., Pegiat Literasi dan Pemerhati Kebijakan Publik


Halaman:

Komentar