Ironi Dosen: Gelar Bergengsi, Hidup dalam Ketidakpastian

- Selasa, 23 Desember 2025 | 10:06 WIB
Ironi Dosen: Gelar Bergengsi, Hidup dalam Ketidakpastian

Gelar dosen sering dilihat sebagai lambang kemapanan. Baik secara intelektual maupun ekonomi. Tapi coba lihat lebih dalam, jauh di balik ruang kuliah dan tumpukan jurnal ilmiah. Realitasnya, banyak dosen di Indonesia hidup dalam kondisi yang jauh dari kata sejahtera. Ini ironi yang pahit, terutama bagi dosen muda, mereka yang berstatus non-PNS, dan yang mengabdi di perguruan tinggi swasta. Padahal, secara normatif, negara sudah menjanjikan perlindungan dan penghargaan yang layak untuk mereka.

Persoalan ini bukan cuma urusan personal. Ini adalah problem struktural yang nyentuh jantung kebijakan pendidikan tinggi kita. Bayangkan, ketika dosen terus-menerus bergulat dengan urusan hidup, bagaimana mungkin mereka bisa fokus? Kualitas pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat pun akhirnya terancam.

Ketimpangan yang Menganga

Menurut teori, pendidikan adalah investasi jangka panjang sebuah bangsa. Dosen sebagai aktor utamanya, semestinya dipandang sebagai aset strategis. Logikanya sederhana: investasi pada kesejahteraan dosen seharusnya berbanding lurus dengan kualitas lulusan dan kemajuan riset.

Namun begitu, teori kerap tak sejalan dengan fakta. Di lapangan, kesejahteraan dosen sangat terfragmentasi. Dosen PNS di PTN mungkin masih punya payung yang relatif lebih aman, meski beban kerjanya makin berat. Di sisi lain, nasib rekan-rekan mereka di PTS yang jumlahnya justru lebih besar seringkali jauh lebih rentan.

Banyak dari mereka bergaji di bawah standar hidup layak. Jaminan kesehatan? Minim. Kepastian pensiun? Belum tentu. Kontrak kerja pun kadang tak jelas. Yang ironis, tuntutan terhadap mereka justru makin tinggi: meneliti, menulis di jurnal bereputasi, mengejar angka kredit, mengabdi pada masyarakat. Semua harus tetap berjalan.

Kondisi ini menciptakan ketegangan peran yang luar biasa. Tuntutan profesional yang tinggi tak didukung oleh dukungan struktural yang memadai. Akibatnya, kelelahan akademik atau academic burnout menjadi hal yang umum. Bukan hal aneh lagi jika banyak dosen terpaksa mencari pekerjaan sampingan hanya untuk sekadar bertahan hidup.

Secara hukum, sebenarnya posisi dosen cukup kuat. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dengan tegas menyebut dosen sebagai tenaga profesional. Mereka berhak mendapat penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. PP No. 37 Tahun 2009 juga mengatur detail penghasilan yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan, dan penghargaan lainnya.

Di atas kertas, regulasinya terlihat ideal. Tapi kita semua tahu, hukum yang bagus harus hidup dalam praktik. Dan di sinilah jurangnya menganga lebar. Regulasi tadi seperti tak punya taring ketika berhadapan dengan realitas di lapangan.


Halaman:

Komentar