Laporan Bencana yang Vokal Ditekan, Transparansi Dipertanyakan

- Senin, 22 Desember 2025 | 20:40 WIB
Laporan Bencana yang Vokal Ditekan, Transparansi Dipertanyakan

Pertanyaan yang belakangan menggantung di udara: kenapa sih, pemberitaan soal bencana yang polos dan apa adanya seolah jadi hal yang ditakuti pemerintah? Ini bukan cuma omongan. Lihat saja apa yang terjadi di Sumatra, di mana sejumlah wilayah sedang berjuang menghadapi bencana.

Yang bikin banyak orang geleng-geleng, justru mereka yang vokal melaporkan kondisi di lapangan malah dapat tekanan. Bukan cuma di-bully lewat narasi atau dituduh macam-macam, tapi serangannya sampai ke ranah privat. Akun WhatsApp coba direbut, media sosial dibobol, bahkan fitnah menyebar hingga menyangkut keluarga. Sungguh mencemaskan.

Menurut sejumlah saksi, situasinya memang tidak nyaman.

Lalu, apa yang salah dengan menyuarakan realitas? Dalam situasi darurat, informasi yang jujur itu fondasinya. Tanpa gambaran utuh, bantuan bisa salah alamat, kebijakan meleset. Penderitaan korban malah mungkin bertambah. Tapi kenapa suara alternatif justru dibungkam, bukan didengar?

Pemerintah punya dalih. Katanya, ini untuk mencegah kepanikan atau intervensi asing. Tapi argumen ini janggal. Di sisi lain, kita tahu negara masih menggantungkan diri pada utang dan bantuan dari luar negeri. Kalau intervensi asing ditakuti, lalu bagaimana dengan ketergantungan finansial yang sudah bertahun-tahun itu? Rasanya tidak konsisten. Dan ketidakkonsistenan inilah yang menggerogoti kepercayaan.


Halaman:

Komentar