Bandara Hantu Morowali: Ketika Kedaulatan Terbang Lewat di Balik Bukit

- Minggu, 21 Desember 2025 | 06:06 WIB
Bandara Hantu Morowali: Ketika Kedaulatan Terbang Lewat di Balik Bukit

Langit Morowali sore itu memerah jingga. Sebuah warna yang ambigu: keindahan senja, ataukah pantulan api dari tungku-tanur yang tak pernah padam? Dari kejauhan, sebuah pesawat meluncur mulus mendarat di landasan pribadi. Tanpa antrean panjang, tanpa kerumunan, dan yang paling mengusik hampir tanpa pengawasan negara yang sesungguhnya.

Ini adalah akhir dari penelusuran saya tentang 'Bandara Hantu' di jantung industri. Saya ditemani Bang Rendi, mantan pejabat pabean yang kini memilih jalan sunyi. Bersama, kami mengupas masalah ini hingga ke akarnya.

“Ini bukan soal anti-asing atau anti-investasi, Bro,” ucap Rendi, suaranya rendah. Matanya menatap nanar ke arah foto lama kami di Palangka Raya.

“Ini soal harga diri rumah tangga. Kau boleh terima tamu agung, tapi jangan biarkan tamu itu pegang kunci pintu depan rumahmu.”

Ekosistem ‘Negara dalam Negara’

Kesalahan kita selama ini adalah memandang persoalan bandara khusus secara terpisah-pisah. Imigrasi hanya lihat paspor, Bea Cukai hanya urus kargo, Kemenhub sibuk dengan izin terbang. Padahal, seperti ditegaskan Rendi, ini semua adalah satu orkestrasi besar yang terangkai rapi.

Intinya, bandara ini berfungsi sebagai jantung sistem eksklusivitas.

Pertama, sebagai pintu masuk. Ribuan Tenaga Kerja Asing (TKA) dengan skill terbatas bisa masuk dengan status turis atau kunjungan. Cara ini menghindarkan mereka dari pajak PPh 21 dan kewajiban membayar Dana Kompensasi.

Kedua, sebagai jalur logistik tersendiri. Barang konsumtif dan logistik internal masuk tanpa saringan ketat. Akibatnya, potensi ekonomi lokal seperti warung makan atau pemasok kebutuhan sehari-hari terpental mati.

Ketiga, sebagai tembok sosial yang kokoh. Tercipta segregasi. Para TKA nyaris tak pernah berbaur dengan warga lokal. Mereka datang, hidup, dan makan dari suplai yang diterbangkan langsung dari luar.

“Negara rugi tiga kali lipat,” Rendi menghitung dengan jari-jarinya. “Pajak menguap, perputaran uang di lokal macet, dan benih kebencian sosial justru tumbuh subur di sela-selanya.”

Bom Waktu yang Sudah Berdetak

Kita sudah menyaksikan percikan awalnya: bentrokan fisik antar pekerja. Media biasa menyebutnya kesalahpahaman. Namun Rendi punya istilah lain: “Ledakan Ketimpangan”.

“Coba bayangkan,” katanya menggeleng. “Kau sarjana teknik dari Makassar atau Jawa, kerja di sana dengan gaji UMR plus sedikit. Lalu lihat pekerja asing, kemampuannya mungkin cuma ngelas atau nyopir, tapi gajinya bisa 10 juta lebih, diantar-jemput bus ber-AC, makanannya diimpor khusus.”

Nah, bandara hantu itulah yang memfasilitasi kastanisasi semacam ini. Ia adalah gerbang pemisah antara ‘Kita’ yang lewat jalan berdebu dan rusak dan ‘Mereka’ yang turun langsung dari langit. Jika regulasinya tidak segera diubah, kita hanya menunggu waktu sampai konflik horizontal yang lebih besar akhirnya meledak. Dan saat itu terjadi, para investor bisa saja kabur, meninggalkan kita dengan lubang tambang dan luka sosial yang dalam.


Halaman:

Komentar