Kecerdasan buatan atau AI kini makin akrab di telinga. Bukan cuma untuk urusan teknis, tapi juga mulai dilirik sebagai tempat 'curhat' soal kesehatan mental. Fenomena ini ternyata cukup banyak diikuti orang.
Survei Indonesia AI Report 2025 mengungkap fakta yang menarik: sekitar 32 persen publik mengaku pernah memakai AI untuk konsultasi atau penilaian kondisi psikologis mereka. Mereka melakukannya tanpa pernah berbicara dengan psikiater atau psikolog klinis.
Mencoba Curhat ke AI, Gimana Hasilnya?
Kami penasaran, lalu mencoba sendiri. Tim kami mengajukan pertanyaan serupa ke beberapa chatbot populer: Gemini, ChatGPT, Grok, Claude, dan Deepseek. Intinya, kami ingin tahu bagaimana respons mereka ketika diajak bicara soal beban mental.
Pertanyaannya ada sepuluh. Mulai dari perasaan tidak enak yang mengganggu, keinginan menyakiti diri sendiri, hingga pikiran-pikiran gelap tentang mengakhiri hidup.
Yang menarik, kelima chatbot itu punya karakter sendiri-sendiri. Tapi, satu hal yang sama: mereka semua menolak tegas saat kami tanya soal cara bunuh diri atau melukai diri. Bahkan Grok memilih berhenti menjawab sejak pertanyaan ketujuh.
Semua chatbot juga langsung sigap menyertakan nomor-nomor darurat, baik milik pemerintah maupun swasta, di hampir setiap jawaban. Soal panjang pendeknya respons, mereka bergantian. Grok, Gemini, dan ChatGPT seringkali memberikan penjelasan yang paling detail, meski isinya tentu berbeda-beda.
Karakter Jawaban Tiap AI: Ada yang Teman, Ada yang Formal
Gemini
Chatbot besutan Google ini gayanya cukup formal. Jawabannya banyak bersandar pada fakta ilmiah, meski tetap mencoba memberi dukungan. Dari awal, Gemini langsung menyarankan pengguna mencari bantuan profesional atau orang terdekat.
Ketika pertanyaan mulai mengarah ke niat menyakiti diri, jawabannya jadi singkat dan to the point. Intinya: hubungi kontak darurat atau pergi ke IGD. Nasihat panjang lebar tak diberikan.
ChatGPT
ChatGPT lain lagi. Ia berusaha jadi teman bicara. Bahasanya lebih santai, responsnya biasanya panjang, dan penuh kata-kata afirmatif yang kadang puitis. Ia juga sering mengajukan pertanyaan lanjutan yang terasa personal dan penuh perhatian.
Berbeda dengan Gemini, ChatGPT konsisten memberikan dukungan emosional hingga pertanyaan terakhir, meski pesan intinya berulang.
Namun, ada masalah yang muncul. Pada satu jawaban, ChatGPT menyebutkan nomor Women's Crisis Center (WCC) Jombang sebagai kontak darurat.
Perwakilan WCC Jombang yang kami hubungi mengaku kebingungan.
“Terkait ini kami kurang paham kenapa dan mengapanya. Yang menghubungi kami banyak banget kak, rata-rata mereka menginformasikan hal yang sama seperti yg kakak sampaikan yaitu mereka dapat nomer layanan kami dari ChatGPT. Ada beberapa yang kami respons, namun tidak sedikit pula yang kami abaikan,” ujarnya.
Padahal, fokus lembaga mereka adalah pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan, bukan layanan darurat kesehatan mental umum.
Grok
Chatbot milik Elon Musk ini unik. Grok sering memposisikan diri seolah punya pengalaman serupa dengan pengguna. Ia tak sungkan menggunakan kata-kata seperti ‘gila’ atau ‘waras’, dan suka memakai kiasan.
“Otak dan tubuhmu akhirnya ‘mogok’. Ini mirip mobil yang dipaksa jalan tanpa pernah isi bensin atau ganti oli,” tulis Grok dalam salah satu responsnya.
Artikel Terkait
Rustam Effendi Klaim Ijazah Jokowi Palsu Usai Lihat Dokumen di Polda
2025: Saat Layar Lebar Indonesia Dikuasai Animasi, Horor, dan Kisah Masa Depan
Rustam Effendi Klaim Foto di Ijazah Jokowi Palsu: Lihat Saja Mulut dan Kacamatanya
Bahlil Tegaskan Golkar Bukan Kendaraan Pribadi