Menjelang akhir tahun, demokrasi lokal kembali mendapat pukulan telak. Lagi-lagi. Publik dibuat terperangah oleh sederet nama pejabat daerah yang baru saja terpilih, namun sudah harus berurusan dengan KPK. Dalam rentang waktu singkat, empat kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan: Bupati Kolaka Timur Abdul Azis, Gubernur Riau Abdul Wahid, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, dan Bupati Lampung Tengah Ardhito Wijaya. Tak ketinggalan, Kejaksaan juga menetapkan Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, sebagai tersangka.
Ini bukan cuma soal daftar nama. Ini adalah pola yang mengusik, sebuah rekaman rusak yang diputar berulang-ulang setiap periode pilkada usai. Pertanyaannya, mengapa sistem kita seperti terus memproduksi pemimpin yang jatuh ke lubang yang persis sama?
Biaya Politik Gila-Gilaan, Aturan yang Tak Berdaya
Aturan sebenarnya sudah ada. UU Pilkada mengatur soal batas dana kampanye, UU Pemerintahan Daerah memberi kerangka kerja. Tapi di lapangan, ceritanya lain sama sekali. Biaya politik melambung tinggi, sementara pengawasan terasa tumpul dan seringkali datang terlambat.
Pilkada yang mahal itu seperti bom waktu. Ia menciptakan tekanan luar biasa bagi yang terpilih untuk segera "mengembalikan investasi". Nah, ketika kekuasaan atas anggaran milyaran, proyek fisik, dan mutasi jabatan ada di satu genggaman tangan, godaan untuk menyalahgunakannya menjadi hampir tak terelakkan. Korupsi berubah dari pelanggaran menjadi konsekuensi logis dari sistem yang bobrok.
Operasi tangkap tangan KPK, meski efektif, seringkali hanya menyentuh permukaan. Di balik seorang bupati atau gubernur yang tertangkap, biasanya terbentang jejaring yang rumit; melibatkan birokrat, pengusaha proyek, dan politisi lokal yang saling menguatkan.
Kisah Riau: Jejaring yang Mulai Terungkap
Kasus di Riau ini menarik untuk dicermati. Selain menjerat Gubernur nonaktif Abdul Wahid, KPK juga mendatangi kediaman SF Harianto, sang Pelaksana Tugas Gubernur. Dari sana disita sejumlah dokumen dan uang tunai.
Memang, Harianto belum ditetapkan sebagai tersangka. Penggeledahan bukan vonis. Tapi langkah KPK itu mengirim sinyal kuat: korupsi di tingkat daerah jarang sekali bersifat tunggal. Ia adalah penyakit sistemik yang menjalar dalam lingkar kekuasaan, bahkan di masa transisi sekalipun. Posisi Plt yang seharusnya bersifat sementara dan terbatas pun ternyata rentan terseret jika tata kelolanya abu-abu.
Artikel Terkait
Ketika Dukun Berjubah Ustadz Lebih Dimuliakan daripada Ulama yang Nyata
PAM JAYA Raih Penghargaan, Target 100% Cakupan Air Bersih Dikejar dengan Keterbukaan
Tito Beberkan Aliran Dana dan Bantuan Nyata untuk Korban Bencana Sumatera
Sultan dan Kejaksaan Siapkan Pidana Kerja Sosial Jelang KUHP Baru