Dampaknya terus terbawa hingga ke dunia kerja. Anak muda dari latar belakang kurang beruntung kerap kesulitan bersaing. Bukan karena mereka kurang kemampuan, tapi karena minimnya akses ke informasi, pelatihan, dan yang paling krusial koneksi profesional. Pola ini, sayangnya, memperpanjang siklus ketimpangan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dunia kerja modern sekarang banyak mengandalkan networking dan rekomendasi. Jujur saja, banyak lowongan strategis sudah diisi lewat "jalur dalam" sebelum dibuka untuk umum. Anak muda tanpa koneksi yang kuat, seberbakat apa pun, bisa tersingkir sebelum pertandingan benar-benar dimulai. Inilah lingkaran setannya: kemiskinan akses pada akhirnya melahirkan kemiskinan peluang.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Para pemerhati kebijakan publik menekankan, negara memegang peran kunci untuk mengecilkan jurang ini. Pemerataan akses pendidikan berkualitas, perluasan beasiswa yang tepat sasaran, dan penciptaan lapangan kerja yang inklusif adalah langkah-langkah krusial. Tanpa itu, peluang yang adil hanya akan jadi impian.
Intervensinya harus sistematis dan menyeluruh. Mulai dari memastikan gizi ibu dan balita terpenuhi, memperkuat kualitas sekolah dasar di daerah tertinggal, membuat program mentorship yang menjembatani perbedaan latar belakang, hingga menerapkan kuota afirmatif di perguruan tinggi. Tanpa kebijakan yang jelas dan berpihak pada mereka yang tertinggal, sistem hanya akan terus menguntungkan kelompok yang sudah berada di depan.
Poin utamanya begini: Memang, tak semua anak lahir dengan kesempatan yang sama. Tapi, keadilan sosial harus memastikan bahwa start yang berbeda bukanlah vonis seumur hidup. Tantangan terbesar kita adalah membangun sebuah ekosistem yang memberi ruang tumbuh bagi semua bukan cuma bagi mereka yang terlahir dengan keistimewaan.
Mengakui bahwa garis start kita tidak sama bukanlah mencari-cari alasan. Ini justru dasar untuk membangun empati dan, yang lebih penting, sebuah sistem yang lebih manusiawi. Tujuannya bukan kesetaraan hasil yang kaku dan dipaksakan. Melainkan, kesetaraan peluang yang nyata. Di mana setiap anak, apa pun latar belakangnya, punya arena yang cukup lapang untuk mengembangkan potensi terbaiknya, dan akhirnya bisa berlari menuju masa depan yang mereka impikan.
Artikel Terkait
Dana Danantara: Antara Penangkal Penyakit Belanda dan Jerat Baru bagi Ekonomi Indonesia
KPK Amankan Jaksa Diduga Pemerang WN Korea dalam OTT Banten
Krisis Adab Pejabat: Ketika Ijazah Tinggi Tak Berbanding Lurus dengan Etika
Kapolri: Air Bersih Jadi Prioritas Utama untuk Korban Bencana Aceh dan Sumatera