Kita sering mendengar bahwa setiap anak punya peluang sukses yang sama. Tapi coba lihat realitasnya. Kenyataan pahitnya, garis start mereka sudah berbeda sejak awal ditentukan oleh latar belakang ekonomi, lingkungan tempat tumbuh, dan akses pendidikan yang mereka dapatkan sejak lahir.
Ketimpangan ini paling jelas terlihat di dunia pendidikan. Anak-anak dari keluarga mampu dengan mudah mengakses fasilitas belajar yang lengkap, les privat, dan jaringan sosial yang mendukung. Sementara itu, bagi anak dari keluarga kurang mampu, sekadar bertahan di bangku sekolah dasar saja sudah merupakan sebuah perjuangan.
Tapi ini bukan cuma soal gedung sekolah atau buku paket. Ada hal-hal lain yang sering luput dari perhatian. Misalnya, soal nutrisi yang cukup, lingkungan yang aman untuk belajar, atau waktu luang yang tidak habis untuk membantu orang tua mencari nafkah. Di daerah terpencil, jaraknya makin menganga. Banyak sekolah yang kekurangan guru berkualitas, dan akses internet yang kini jadi jendela ilmu masih dianggap kemewahan.
Menurut data BPS, angka putus sekolah masih didominasi oleh kelompok ekonomi menengah ke bawah. Biaya yang mahal, fasilitas terbatas, dan tuntutan membantu keluarga jadi penyebab utamanya. Akibatnya, banyak potensi anak yang tak pernah sempat berkembang, padahal mungkin mereka punya bakat yang luar biasa.
Di sisi lain, ada ironi yang menyakitkan. Pendidikan yang seharusnya menjadi tangga mobilitas sosial, justru sering kali memperdalam ketimpangan yang ada. Ambil contoh seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Prosesnya masih sangat dipengaruhi oleh kemampuan siswa mengikuti bimbingan belajar berbayar yang harganya selangit. Anak pintar dari keluarga sederhana tak jarang tersisih, bukan karena bodoh, tapi karena tak sanggup berlomba di "ajang berbayar" itu.
Seorang pengamat sosial pernah bilang, kita terlalu mudah menyalahkan kegagalan anak muda semata-mata pada usaha individunya. Padahal, faktanya, tidak semua anak mulai dari titik yang sama. Ada yang didukung penuh sejak lahir, sementara yang lain harus menghadapi kendala struktural yang sama sekali bukan pilihan mereka.
Pola pikir bahwa "kesuksesan murni datang dari kerja keras" sering mengabaikan peran privilege atau hak istimewa yang tak terlihat. Coba pikirkan. Seorang anak yang lahir di keluarga terdidik, sudah "mewarisi" modal budaya sejak kecil: kebiasaan membaca, cara berpikir kritis, dan wawasan yang luas. Itu adalah keunggulan yang tak ternilai harganya.
Artikel Terkait
Dana Danantara: Antara Penangkal Penyakit Belanda dan Jerat Baru bagi Ekonomi Indonesia
KPK Amankan Jaksa Diduga Pemerang WN Korea dalam OTT Banten
Krisis Adab Pejabat: Ketika Ijazah Tinggi Tak Berbanding Lurus dengan Etika
Kapolri: Air Bersih Jadi Prioritas Utama untuk Korban Bencana Aceh dan Sumatera