Hubungan Negara dan Umat Islam di Era Orde Baru: Dari Represi ke Akomodasi

- Jumat, 14 November 2025 | 07:25 WIB
Hubungan Negara dan Umat Islam di Era Orde Baru: Dari Represi ke Akomodasi

Kebijakan Orde Baru Terhadap Islam: Analisis Perkembangan Hubungan Negara dan Umat

Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan ICMI Orsat Jatinegara di Perpustakaan Nasional pada 24 Juni 1995, Hussein Umar, yang saat itu menjabat sebagai Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), mengemukakan analisis mendalam mengenai kebijakan Orde Baru terhadap gerakan Islam di Indonesia.

Hussein Umar membagi kebijakan pemerintah terhadap umat Islam ke dalam dua periode berbeda. Periode pertama dari tahun 1967 hingga 1987 ditandai dengan kebijakan deideologisasi, depolitisasi, dan sekulerisasi terhadap Islam. Menurutnya, kebijakan ini merefleksikan sikap Islamofobia dalam kekuasaan Orde Baru saat itu.

Pada periode tersebut, terjadi berbagai rekayasa terhadap kekuatan sosial umat Islam. Organisasi buruh, tani, dan nelayan yang bercorak Islam mengalami proses likuidasi. Kegiatan dakwah di kalangan kelompok ini mengalami kemandegan selama lebih dari dua dekade, menciptakan kekosongan dakwah di pedesaan dan daerah pantai yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk melakukan pemurtadan dengan memanfaatkan kondisi kemiskinan dan kebodohan.

Organisasi mahasiswa dan pelajar Islam juga mengalami nasib serupa. Organisasi mahasiswa Islam dilarang beraktivitas di lingkungan kampus, sementara organisasi pelajar Islam tersingkir dengan munculnya OSIS. Kondisi ini menciptakan kevakuman kegiatan dakwah di institusi pendidikan untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya bangkit kembali melalui masjid-masjid kampus.

Sikap kurang bersahabat terhadap Islam semakin diperparah dengan berbagai kasus seperti pelarangan jilbab di sekolah, penghapusan libur bulan puasa, penerbitan buku PMP yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam, serta kebijakan-kebijakan kontroversial seperti penyelenggaraan SDSB, penjualan minuman keras, dan lokalisasi pelacuran.

Peran CSIS (Centre for Strategic and International Studies) dan Benny Moerdani disebut-sebut sangat dominan dalam mengadvokasi kebijakan sekulerisasi dan deislamisasi di Indonesia. Pada masa ini, umat Islam mengalami berbagai tragedi seperti peristiwa Lampung, Tanjung Priok, dan Aceh.

Perubahan signifikan terjadi ketika Presiden Soeharto memberhentikan Benny Moerdani sebagai Panglima TNI pada tahun 1988 dan mengangkat Feisal Tanjung yang dianggap lebih akomodatif terhadap umat Islam. Pergeseran kebijakan ini semakin jelas dengan pembentukan ICMI pada tahun 1993 dengan B.J. Habibie sebagai ketuanya.

Soeharto juga memberikan restu bagi pembentukan koran Republika sebagai media aspirasi umat Islam. Kelahiran koran ini disambut antusias oleh masyarakat Muslim Indonesia, dengan banyak yang menghimpun dana untuk mendukung keberlangsungan media tersebut.

Perubahan sikap Soeharto semakin jelas ketika ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1988 dan menunjukkan kedekatan dengan umat Islam. Dampaknya, ICMI semakin berkembang, didirikannya Bank Muamalat (1991), pembangunan 999 masjid melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, serta perintisan UU Zakat.


Halaman:

Komentar