Dalam hidup, kita selalu diingatkan untuk berhati-hati dengan utang. Utang rumah, mobil, atau modal usaha semuanya jelas tercatat. Kita tahu persis jumlah cicilannya, kapan harus bayar, dan risikonya jika telat. Itu utang yang terlihat.
Tapi ada jenis "utang" lain dalam pengelolaan keuangan negara. Jenis yang jauh lebih sunyi. Ia tak selalu muncul sebagai angka pinjaman di berita utama. Meski begitu, dari tahun ke tahun, ia terus bertumbuh dalam diam.
Utang yang Tak Tertulis, Tapi Nyata
Ambil contoh Sistem Jaminan Pensiun ASN. Sistem yang sangat mengandalkan pembayaran langsung dari anggaran tahunan ini, sejatinya memikul kewajiban jangka panjang yang nilainya fantastis. Setiap janji manfaat pensiun yang diberikan negara hari ini kepada para ASN, itu bukan sekadar kata-kata.
Itu adalah janji untuk membayar puluhan tahun ke depan. Nilainya harus mengikuti inflasi. Dan yang sering jadi masalah, janji itu tak selalu punya cadangan dana yang memadai di belakangnya.
Dalam istilah keuangan, ini disebut liabilitas jangka panjang. Namun karena tak dikemas sebagai pinjaman resmi, ia jarang diperlakukan layaknya "utang". Padahal, esensinya sama saja.
Hanya bedanya, utang ini bukan ditagih oleh bank, melainkan oleh waktu.
Mengapa Ia "Warisan Diam-Diam"?
Ia warisan, karena lahir dari keputusan di masa lampau. Lalu diteruskan ke generasi sekarang, dan akhirnya akan ditagih kepada generasi mendatang yang mungkin tak pernah ikut merancangnya.
Ia diam-diam, karena jarang muncul sebagai angka eksplisit di neraca fiskal. Ia tak memicu alarm seperti defisit anggaran. Jarang jadi bahan perdebatan politik yang seru.
Nah, justru karena sifatnya yang sunyi itulah ia berpotensi bahaya. Mirip retakan di fondasi rumah tua tak kelihatan dari luar, tapi terus melebar di dalam struktur.
Neraca Tampak Sehat, Tapi Kewajiban Menumpuk
Sebuah negara bisa terlihat sangat sehat. Defisit anggaran terkontrol. Rasio utang terhadap PDB masih dalam batas wajar. Penerimaan pajak stabil.
Namun di balik itu, kewajiban pensiun terus menggunung. Seiring bertambahnya jumlah pensiunan dan makin panjangnya usia hidup, komitmen pembayaran itu membesar. Ini menciptakan semacam ilusi. Fiskal terlihat sehat di permukaan, padahal di belakang panggung, ada tagihan raksasa yang antre.
Inilah bagian yang sering luput dari obrolan publik.
Bonus Demografi yang Bisa Berbalik Arah
Kita kerap membahas bonus demografi. Jumlah usia produktif yang melimpah, tenaga kerja besar, mendorong pertumbuhan ekonomi. Semua itu benar adanya.
Tapi ada hukum tak tertulis: setiap bonus demografi, jika tak dikelola dengan cermat, akan berubah jadi beban demografi. Hari ini kita punya banyak pekerja. Besok, kita akan menghadapi banyak pensiunan.
Kalau sistem pembiayaan pensiun tak dipersiapkan dengan dana yang kuat sejak era bonus berlangsung, maka skenarionya begini:
Generasi produktif hari ini akan menanggung beban ganda di masa depan. Negara terpaksa membayar masa lalu sekaligus membiayai masa kini, dalam waktu bersamaan.
Di titik inilah, utang pensiun yang tak tercatat itu berubah jadi tekanan yang sangat nyata dan menyakitkan.
Artikel Terkait
Samsung Luncurkan Galaxy Tab A11+, Tablet 5G dengan AI di Bawah Rp 4 Juta
Dari Mario Kart ke Fortnite: Bagaimana Game Mengubah Cara Otak Anak Merespons Hadiah
Survei Ungkap 64% Konsumen Masih Kecewa Setelah Barang Tiba, Blibli Luncurkan Solusi No Blabla
Dongeng dan Tawa Pulihkan Hati Anak-Anak Korban Bencana Sumatera