AS memang pasar ekspor utama. Karena itulah, kebijakan tarif ini jadi hal yang krusial. Terutama di tengah upaya perbaikan tata kelola industri nasional yang sedang digaungkan.
Persaingan di kawasan juga ketat. Tarif impor AS untuk produk tekstil kita saat ini 19 persen, setara dengan Kamboja, Malaysia, dan Thailand. Vietnam sedikit lebih tinggi, 20 persen. Laos dan Myanmar jauh tertinggal, terkena tarif hingga 40 persen.
Meski tarif kita terbilang kompetitif, Jemmy menyoroti persoalan lain. Beban biaya domestik masih jadi tantangan besar. Lihat saja biaya logistik, tarif gas, kenaikan upah, sampai suku bunga kredit perbankan. Semuanya membuat ongkos produksi di dalam negeri lebih mahal dibandingkan pesaing-pesaing kita.
Di sisi lain, API punya usulan. Mereka mendorong skema kerja sama imbal balik, misalnya dengan meningkatkan impor kapas dari AS. Gagasannya, produk garmen dan tekstil yang pakai bahan baku kapas AS lalu diekspor kembali ke sana, bisa dapat keringanan tarif. Nol persen kalau bisa, atau lebih rendah dari 19 persen.
Menurut Jemmy, langkah seperti ini berpotensi menggerakkan ekonomi nasional. Penerimaan pajak bisa naik, dan yang paling penting, keberlangsungan kerja jutaan orang di sektor ini bisa terjaga. Dia berharap Presiden Prabowo Subianto dan Menko Perekonomian bisa memberi perhatian penuh dalam negosiasi ini. Sebagai bentuk nyata keberpihakan pada sektor padat karya yang jadi penopang banyak keluarga.
Artikel Terkait
Dua Belas Jalur Nasional di Sumut Kembali Dibuka Pasca Banjir dan Longsor
DJP Kejar Target 14,8 Juta Akun Coretax Sebelum Akhir 2025
Polda Metro Jaya Siapkan Contraflow dan Penyekatan Hadapi Arus Balik 2026
BNPB Usul Posisi Kepala BPBD Tak Lagi Dirangkap Sekda