“Penundaan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) yang berujung pada keterlambatan ini menunjukkan sistemnya belum responsif,” papar Hasran.
“Sistem yang kaku ini justru berpotensi menghambat efisiensi dan daya saing industri nasional,” tambahnya.
Karena itu, CIPS mendesak pemerintah untuk segera meninjau ulang data kebutuhan beras industri. Prosesnya harus transparan dan melibatkan pelaku usaha langsung. Penggunaan data pasokan yang lebih detail dan sesuai kebutuhan riil sangat krusial. Jangan sampai kebijakan swasembada malah menekan industri hilir dan memicu gelombang kenaikan harga pangan.
Klaim swasembada, menurut mereka, tidak boleh jadi satu-satunya alasan untuk menutup keran impor beras industri. Spesifikasi dan kebutuhan riil pelaku usaha harus dipertimbangkan dengan matang.
Pada akhirnya, kasus Neraca Komoditas 2026 ini memperlihatkan sistem yang masih kaku dan bergantung pada data yang belum akurat di tingkat teknis. Reformasi sistem impor dinilai jadi kunci.
“Neraca Komoditas belum dapat diterapkan secara efektif sebagai instrumen pengendali impor. Sistem impor perlu diarahkan kembali agar lebih berbasis mekanisme pasar, sehingga mampu merespons kebutuhan bahan baku secara aktual,” tutup Hasran.
Artikel Terkait
Korban Tewas Bencana Sumatera Tembus 1.140 Jiwa, Pencarian Masih Berlanjut
93 Sumur Bor Baru Menyebar, Aceh Tamiang Kini Punya Napas Segar
Cipta Cendikia dan Putri Tangsel City Kuasai Klasemen HPSL Jakarta
Arus Balik Natal 2025: 168 Ribu Kendaraan Sudah Serbu Gerbang Tol Jakarta