Setiap kali waktunya kembali ke ibu kota, ada satu momen yang paling berat. Tatapan keluarga yang berusaha tegar, diiringi ucapan, “Hati-hati, ya. Selamat sampai tujuan.” Rasanya, dunia mendadak mengecil. Dan di dada, tersisa sebuah ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh rindu.
Menjalani pernikahan jarak jauh atau LDM memang bukan cuma soal siapa yang pergi dan siapa yang tinggal. Lebih dari itu, ini tentang bagaimana dua hati menjaga sebuah ‘rumah’. Rumah yang tak selalu bisa disentuh, tapi selalu layak untuk diperjuangkan. Ada pepatah lama yang kerap terngiang, “Jarak menguji, waktu membuktikan.” Benar adanya.
Sebagai seorang dosen, hidup saya diatur oleh irama yang sulit ditebak. Dunia pendidikan adalah ladang pengabdian, tak disangkal. Tapi ladang ini sering menuntut kita untuk mencurahkan energi ke banyak ruang belajar, bukan cuma ruang di rumah sendiri. Di kampus, saya kerap merasa menjadi jembatan bagi mahasiswa. Membimbing mereka dari kebingungan menuju pemahaman, dari keraguan menuju keyakinan.
Ironisnya, di saat yang sama, masa depan keluarga saya justru saya titipkan pada kesabaran dan doa yang tak putus-putusnya.
LDM memang memaksa kita lebih sering bicara pada layar ponsel ketimbang memeluk orang tersayang. Tapi pekerjaan saya sebagai pengajar memaksa saya untuk percaya: setiap perpisahan kecil punya maknanya sendiri. Saya pegang teguh kata-kata ini, “Jika ingin melihat masa depan, lihatlah apa yang kamu kerjakan hari ini.” Maka, saya memilih untuk yakin. Perjalanan ini bukan sekadar pengorbanan, melainkan sebuah investasi untuk pendidikan, karier, dan martabat keluarga kami.
Menjadi dosen kerap disandingkan dengan kata “pengabdian”. Tapi di baliknya, ada realitas sosial yang senyap. Tuntutan administrasi yang tak habis-habis, urusan akreditasi, penelitian, pembimbingan skripsi, sidang, kepanitiaan, hingga rapat yang berlarut-larut. Kadang, di tengah semua itu, saya bertanya dalam hati, “Apa ini semua terlalu banyak?”
Tapi saya juga sadar. Tak ada pendidikan yang lahir dari kemudahan.
“Tak ada pelaut ulung lahir dari laut yang tenang,” begitu kata orang. Mungkin, tak ada juga keluarga yang benar-benar kuat tanpa pernah diuji oleh gelombang rindu yang panjang.
Tapi jangan salah. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kalimat bijak belaka. Ada malam-malam di mana lelah mengalahkan logika. Saat suara dari speaker ponsel terasa tak cukup untuk meredakan penat. Saat jarak terasa lebih keras dan nyata daripada apa pun. Pada titik-titik itulah saya tersadar. Masa depan tidak dibangun oleh kehadiran yang sempurna, tapi oleh komitmen yang tak mudah patah, meski terus diuji.
Artikel Terkait
Hercules TNI AU Angkut 14 Ton Cabai, Selamatkan Hasil Panen Petani Bener Meriah
Jembatan Bailey Bireuen Ditargetkan Beroperasi Kamis Ini
KSPI Tolak PP Pengupahan 2026, KHL Dikhawatirkan Dikurangi
Bakar Batu Warnai Persiapan Natal, Panglima Pastikan Papua Kondusif