Pasal-pasal dalam UU MD3 tidak mengenal status nonaktif, sehingga jika parpol hanya menjadikan istilah itu sebagai tameng, maka sama saja mereka bertindak di luar koridor hukum.
“Publik harus tahu bahwa istilah nonaktif itu tidak punya dasar hukum. Itu hanya istilah politik yang dipakai untuk meredam kemarahan rakyat, seolah-olah parpol sudah memberi sanksi, padahal kadernya masih bisa tetap bermain di belakang layar. Ini penipuan publik yang tidak boleh dibiarkan,” kata Haris.
Ia menambahkan, praktik politik semu ini berbahaya karena merusak kepercayaan rakyat terhadap institusi politik dan demokrasi. Parpol, kata Haris, justru ikut menciptakan preseden buruk bahwa kader bisa dilindungi meski sudah terbukti menyakiti rakyat.
“Kalau parpol tidak tegas memecat permanen Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Nasdem, Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN dan Adies Kadir dari Golkar, berarti parpolnya ikut menanggung dosa kader tersebut," kata Haris.
Haris menegaskan bahwa tanggung jawab moral dan hukum parpol adalah pecat permanen kader bermasalah, bukan menciptakan istilah nonaktif yang tidak memiliki landasan hukum.
“Itu cara satu-satunya untuk menjaga marwah demokrasi, menyelamatkan kredibilitas parpol, sekaligus meringankan beban Presiden Prabowo dalam memimpin bangsa ini,” tutup Haris
Sumber: RMOL
Artikel Terkait
Cak Imin Serukan Taubatan Nasuha Nasional di Tengah Bencana Hidrometeorologi
Prabowo Turun ke Genangan Lumpur, Tegaskan Negara Tak Tinggalkan Korban Banjir
MPR Soroti Usulan Status Bencana Nasional untuk Banjir Sumatera, Otoritas Akhir di Tangan Presiden
Perebutan Pengaruh di Tubuh PBNU: Dua Kubu Berebut Dukungan Kiai Sepuh