Ada rasa kecewa yang mendalam di balik kata-katanya. Ia merasa kerja keras timnya tak sepenuhnya dihargai.
Memang, tekanan di PSG itu lain level. Ekspektasinya gila-gilaan, nyaris tak manusiawi. Tuchel membandingkannya dengan Bayern Munchen, di mana setiap gelar domestik dirayakan dengan apresiasi besar. Di Paris, rasanya berbeda. Kemenangan di liga seolah dianggap biasa saja, sesuatu yang wajib.
“Ekspektasi di sini sangat ekstrem. Kamu merasa apresiasi terhadap apa yang kami lakukan, terutama di liga, tidak ada seperti di Bayern,” ujarnya.
Natal pahit itu pun menutup babak penting dalam kariernya. Era Tuchel di Paris berakhir dengan cara yang dramatis. Meski begitu, namanya tetap tercatat dalam sejarah klub sebagai sang pembuka jalan ke final Liga Champions. Sebuah warisan prestasi, yang sayangnya, berakhir dengan perpisahan yang getir di malam suci.
Artikel Terkait
Allegri Incar Gatti, Juventus Balas dengan Tuntutan Ricci
SEA Games Plus Siap Hadirkan Peserta dari Oseania hingga Bhutan
Van Gastel: Stadion Kosong Lebih Mengerikan daripada Hasil Imbang
Barba Bantah Isu Hengkang, Fokus Bawa Persib Taklukkan PSM