Soeharto Sebagai Cermin: Gelar Pahlawan dan Pertanyaan Nasional
Oleh: Radhar Tribaskoro
Sebuah bangsa seringkali diuji bukan melalui perang atau pemilu, melainkan melalui cara mereka menghormati sejarah. Ketika nama Soeharto kembali diusulkan sebagai pahlawan nasional, Indonesia sebenarnya sedang bertanya pada dirinya sendiri: nilai apa yang ingin kita wariskan kepada generasi mendatang tentang kekuasaan, kebenaran, dan memori kolektif?
Makna Pahlawan dalam Lintasan Sejarah Dunia
Setiap negara memiliki cara tersendiri dalam memaknai kepahlawanan. Amerika Serikat menghormati Martin Luther King Jr sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Prancis memuliakan Émile Zola di Panthéon sebagai pembela kebenaran. Dalam konteks ini, pahlawan bukan sekadar figur berjasa, melainkan representasi nilai-nilai yang ingin dilestarikan sebagai pelajaran bagi masa depan.
Namun sejarah juga mencatat bahwa tidak semua tokoh besar diangkat menjadi pahlawan. Winston Churchill, meski berjaya memimpin Inggris dalam Perang Dunia, tidak dianggap sebagai pahlawan moral akibat kebijakannya yang menyebabkan bencana kelaparan di India. Napoleon Bonaparte diakui sebagai tokoh sejarah penting Prancis, namun tidak dijadikan teladan kebajikan nasional.
Dua Wajah Kepemimpinan Soeharto
Era kepemimpinan Soeharto menyimpan dua narasi yang bertolak belakang. Di satu sisi, Indonesia mengalami stabilitas ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan penurunan inflasi yang signifikan. Banyak generasi Orde Baru yang mengenang masa ini sebagai periode keterjangkauan harga pokok dan arah pembangunan yang jelas.
Di sisi lain, sejarah mencatat berbagai peristiwa kelam: pembantaian pasca 1965 yang belum tuntas, penculikan aktivis, pemberangusan media, serta korupsi yang terstruktur. Warisan ini menciptakan Indonesia yang makmur bagi segelintir orang, namun rapuh bagi banyak kalangan.
Filosofi Jawa dalam Ranah Negara
Konsep "mikul duwur mendem jero" yang berarti mengangkat tinggi jasa dan mengubur dalam kesalahan, mungkin relevan dalam konteks keluarga. Namun ketika prinsip ini diterapkan dalam pengelolaan negara, konsekuensinya menjadi berbeda. Negara yang sehat justru perlu mengakui kesalahan masa lalu agar generasi berikutnya tidak mengulanginya.
Artikel Terkait
Dugaan Korupsi Mesin Jahit di Pemkot Jakarta Timur Digeledah Kejaksaan
7 Modus Korupsi Proyek Fisik & Dampaknya bagi Masyarakat (Contoh Kasus Riau)
Kronologi Lengkap Kecelakaan Ford Mustang 2.3 AT di Pekanbaru, Ternyata Ini Penyebabnya
Rully Chairul Azwar Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Akhiri Polemik, Fokus ke Masa Depan