Sejak pemerintahan Joko Widodo dimulai pada 2014, lanskap politik Indonesia mengalami transformasi signifikan menuju sistem yang lebih tersentralisasi. Konsep "gotong royong" dan "rekonsiliasi politik" yang diusung pemerintah secara bertahap mengubah dinamika oposisi politik di Indonesia. Partai-partai yang sebelumnya vokal kini memilih bergabung dengan koalisi pemerintahan, meninggalkan ruang oposisi yang semakin menyempit.
Di era kepemimpinan Prabowo Subianto, harapan akan perubahan dalam sistem politik Indonesia belum sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada partai politik yang berani memposisikan diri sebagai penyeimbang kekuasaan. Semua komponen politik tampak berlomba untuk masuk dalam orbit pemerintahan, menciptakan kondisi dimana checks and balances dalam demokrasi menjadi lemah.
Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan gesekan ide dan pertentangan gagasan yang konstruktif. Tanpa keberadaan oposisi yang kuat, kekuasaan kehilangan mekanisme koreksi internal. Ketika parlemen dan partai politik tidak menjalankan fungsi pengawasan, peran oposisi beralih kepada aktor-aktor non-tradisional: media massa, aktivis masyarakat sipil, dan masyarakat digital.
Media Sebagai Penjaga Demokrasi
Di tengah kompleksitas kepemilikan media dan tekanan ekonomi, beberapa lembaga pers masih berupaya mempertahankan independensinya. Jurnalis-jurnalis yang berdedikasi terus mengajukan pertanyaan kritis dan menghasilkan karya jurnalistik yang mengedepankan prinsip kebenaran. Namun tantangan yang dihadapi media kontemporer semakin beragam, mulai dari tekanan ekonomi melalui kontrol iklan hingga ancaman penggunaan UU ITE yang berpotensi membatasi kebebasan berekspresi.
Artikel Terkait
Eggi Sudjana Ditahan sebagai Tersangka Kasus Ijazah Palsu Jokowi, Ini Responsnya
Waspada Penipuan Tiket Murah Akhir Tahun 2025: OJK Ingatkan Modus Baru & Cara Hindarinya
Ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta: 54 Korban, Diduga Pelaku Siswa Kelas 12
Ledakan SMAN 72 Jakarta: 33 Korban Ditangani, 5 Dioperasi | Update Terkini