Revisi UU Pemilu 2026: Mengapa Sistem MMP Jadi Solusi Utama Atasi Politik Berbiaya Tinggi
Revisi Undang-Undang Pemilu atau RUU Politik pada tahun 2026 harus menjadi prioritas strategis di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Pembenahan sistem politik ini adalah syarat mutlak agar program strategis pemerintah tidak tersandera oleh biaya politik tinggi dan ketidakefisienan struktural.
Tekanan Sistemik Politik Transaksional di Indonesia
Sistem politik Indonesia saat ini mengalami tekanan akut akibat praktik politik transaksional yang kian sistemik. Hal ini memaksa setiap kontestasi politik menjadi ajang kompetisi finansial tanpa batas. Revisi UU Pemilu bukan hanya kebutuhan administratif, tetapi langkah penyelamatan bagi masa depan demokrasi dan stabilitas fiskal negara.
Politik Berbiaya Tinggi: Produk Sistem Proporsional Terbuka
Fenomena politik berbiaya tinggi adalah produk langsung dari sistem proporsional terbuka. Selama dua dekade, sistem ini membentuk budaya politik transaksional "beli putus". Calon legislatif dari partai yang sama saling bersaing, mendorong mereka menghabiskan dana miliaran rupiah demi popularitas individu.
Akibatnya, orientasi politik bergeser dari representasi publik menjadi survival personal. Pola ini menciptakan siklus politik yang mahal, tidak efisien, dan rentan korupsi. Urgensi pembaruan sistem menjadi tak terelakkan.
Sistem Mixed Member Proportional (MMP): Solusi Transformasional
Salah satu solusi konseptual yang realistis adalah mengadopsi model Mixed Member Proportional atau sistem MMP. Sistem ini telah terbukti berhasil di Selandia Baru dan beberapa negara maju lainnya.
Dalam sistem MMP, setiap pemilih memiliki dua suara: satu untuk partai politik dan satu untuk calon atau kader populer. Formula ini mengombinasikan kekuatan sistem proporsional tertutup dengan sistem distrik yang menjaga akuntabilitas langsung antara wakil rakyat dan pemilih.
Implementasi sistem MMP akan menghasilkan efisiensi tata kelola pemilu, mengakhiri fragmentasi politik tidak produktif, memperkuat loyalitas kader terhadap partai, dan menekan biaya kampanye secara signifikan.
Tiga Pilar Reformasi Struktural dalam Revisi UU Pemilu
Reformasi pemilu tidak boleh berhenti pada desain sistem semata. Revisi UU Pemilu perlu menyentuh tiga dimensi struktural:
Artikel Terkait
Ledakan di SMA Negeri 72 Kelapa Gading: Kronologi, Korban, dan Penyebab
Ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta: 7 Luka-luka, Diduak OTK dan Kronologi
Persada 212 Bogor Desak Larangan Ahmadiyah: Dasar Hukum & Dampaknya
Ledakan di SMAN 72 Jakarta: Kronologi, Korban Jiwa, dan Lokasi Kejadian