Oleh:Lukman Hakim
RESHUFFLE kabinet di Indonesia jarang sekali lahir dari ruang kosong. Ia hampir selalu hadir bersama momentum politik, framing opini, dan panggung besar yang disiapkan sebelumnya.
Apa yang terjadi pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menunjukkan pola yang terlalu rapi untuk dianggap kebetulan.
Demonstrasi yang membesar menjadi kerusuhan, gedung-gedung pemerintah porak-poranda, rumah anggota DPR dijarah, bahkan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut menjadi sasaran.
Hanya dalam hitungan hari setelah itu, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan perombakan kabinet. Sri Mulyani dicopot, digantikan Purbaya Yudhi Sadewa.
Narasinya jelas: ada krisis, dan untuk mengatasinya diperlukan wajah baru. Namun justru karena terlalu mulus, skenario ini terasa bukan reaksi spontan, melainkan bagian dari agenda yang sudah lama disiapkan.
Kerusuhan yang meledak di Jakarta dan daerah lain pada 28–30 Agustus bukan sekadar luapan amarah rakyat. Ia menjelma panggung legitimasi.
Media mencatat detail bagaimana rumah sejumlah politisi diserang massa, dan dini hari 31 Agustus giliran rumah Sri Mulyani yang dijarah. Simbolnya sangat kentara: amarah publik diarahkan pada pusat pengelolaan ekonomi negara.
Pesan visual itu kemudian dipakai untuk membangun justifikasi politik. Sri Mulyani diposisikan sebagai figur yang gagal meredam gejolak, padahal reputasinya selama ini justru dikenal sebagai penjaga stabilitas.
Korelasi waktu yang terlalu rapat antara kerusuhan dan reshuffle membuat sulit menolak pembacaan bahwa kerusuhan hanyalah layar untuk menyingkirkan dirinya.
Sri Mulyani bukan sekadar pejabat teknokrat. Ia adalah jangkar kredibilitas fiskal Indonesia di mata dunia. Sejak lama ia dikenal sebagai menteri yang menjaga disiplin anggaran, berhati-hati terhadap utang, dan menolak ekspansi berlebihan.
Karakter inilah yang membuat pasar global percaya, tetapi di sisi lain sering dianggap menghambat agenda politik dalam negeri.
Presiden Prabowo datang dengan target pertumbuhan delapan persen, program makan bergizi gratis, dan proyek-proyek besar yang menuntut pembelanjaan masif. Dengan karakter seperti itu, Sri Mulyani lebih terlihat sebagai batu sandungan daripada mitra.
Untuk membuka gas fiskal, rem yang terlalu kuat harus dilepaskan. Kerusuhan memberi kesempatan itu. Publik sudah dibuat resah, rumah sang menteri ikut jadi korban, maka menggantinya terasa wajar.
Masuklah Purbaya Yudhi Sadewa. Seorang ekonom lulusan ITB dan Purdue yang dikenal blak-blakan dan agresif. Hanya beberapa hari setelah dilantik, ia langsung mengumumkan langkah berani dengan memindahkan lebih dari Rp200 triliun dana kas negara ke bank-bank milik pemerintah untuk mendorong kredit produktif.
Tidak lama kemudian, Bank Indonesia membuat kejutan dengan memangkas suku bunga, sebuah keputusan yang dipandang terlalu dini oleh sebagian analis. Pasar internasional mencatat arah baru kebijakan ini dengan penuh was-was.
Rupiah melemah, IHSG bergejolak, investor asing bertanya-tanya apakah Indonesia masih memegang komitmen pada disiplin fiskal. Reuters menulis bahwa hilangnya Sri Mulyani berarti hilangnya figur independen yang berani berkata tidak pada kebijakan populis, sementara Bloomberg,/i> menyoroti potensi politisasi kebijakan moneter dan fiskal yang kian kentara.
Narasi “Efek Purbaya” pun lahir. Fiskal menjadi lebih agresif, pertumbuhan diangkat sebagai mantra, sementara kredibilitas jangka panjang dipertaruhkan.
Dalam logika konspiratif, pola ini begitu jelas. Kerusuhan menciptakan krisis visual, publik digiring untuk percaya bahwa keadaan darurat menuntut solusi besar, dan solusi itu hadir dalam bentuk pergantian Menteri Keuangan.
Figur baru kemudian membuka keran belanja, menyalurkan dana negara ke sistem perbankan, memberi ruang gerak luas bagi BUMN dan kontraktor proyek, sekaligus menyamarkan kepentingan politik di balik jargon pertumbuhan.
Yang paling diuntungkan jelas adalah eksekutif yang kini bisa bergerak tanpa rem terlalu ketat. Himbara menikmati limpahan likuiditas, kontraktor proyek melihat peluang baru, elite politik memperoleh ruang klaim sebagai penggerak ekonomi.
Yang dirugikan justru pasar global yang kehilangan jangkar kepercayaan, serta masyarakat yang terancam inflasi bila ekspansi fiskal tidak diimbangi perbaikan suplai. Dan tentu saja, yang paling terluka adalah prinsip bahwa kebijakan fiskal dijalankan demi stabilitas jangka panjang, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan.
Jika dibaca dengan nalar konspiratif, maka logikanya sederhana. Kerusuhan bisa dibiarkan menggelembung, simbol publik seperti rumah Sri Mulyani dijadikan panggung, lalu reshuffle dipasarkan sebagai solusi.
Faktanya, Sri Mulyani jatuh bukan karena gagal, melainkan karena terlalu kuat "menjaga disiplin". Dan publik diarahkan untuk percaya bahwa pergantian ini adalah demi pertumbuhan, padahal bisa jadi ini hanyalah pintu masuk penjarahan fiskal yang lebih rapi, yang dilakukan lewat APBN dengan baju kebijakan.
(Peneliti Lingkar Study Data dan Informasi)
Artikel Terkait
Sejauh Ini, Ini Analisis Paling Mantap: Analisis Kejanggalan Dokumen Kesetaraan SMA dan S1 Gibran!
Kecam Netanyahu, Macron: Perang Total Israel Membunuh Warga Sipil, Bukan Menghancurkan Hamas
Pidato di PBB, Presiden Petro Serukan Bangsa Dunia Satukan Tentara dan Senjata Bebaskan Palestina
Suarakan Dua Periode, Jokowi Cemas Kurang Mendapat Perhatian