Yang cukup mencengangkan adalah kondisi fisiknya selama ditahan. KontraS mencatat penurunan berat badan yang sangat drastis, bisa mencapai 30 hingga 40 kilogram. Penurunan sebesar itu bukan hal sepele. Itu adalah indikasi kuat adanya tekanan psikis yang hebat, plus kemungkinan besar layanan kesehatan dan standar penahanan yang jauh dari kata layak.
Padahal, aturan mainnya sudah jelas. Ada Standar Minimum PBB yang mewajibkan negara menjamin kesehatan fisik dan mental setiap tahanan. Namun begitu, kenyataan di lapangan seringkali berbeda. Kunjungan terakhir keluarganya pada 24 Desember pun disebut tak ada keluhan medis serius yang disampaikan Alfarisi. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di balik tembok itu?
Merespon tragedi ini, Federasi KontraS dan KontraS Surabaya mendesak pemerintah untuk segera bertindak. Mereka menuntut penyelidikan independen yang transparan atas kematian Alfarisi. Tak cuma itu, mereka juga meminta pertanggungjawaban hukum bagi aparat yang lalai dan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi Rutan Medaeng serta rutan-rutan lain di Indonesia.
Fatkhul menegaskan satu poin penting. Kematian Alfarisi jangan dilihat sebagai peristiwa yang berdiri sendiri. Ini adalah bagian dari pola yang berulang, terutama terhadap mereka yang ditangkap dalam konteks politik dan ekspresi pendapat. Sebuah pola yang, sayangnya, terus terulang.
Artikel Terkait
Astra Gerakkan Ratusan Relawan dan Alat Berat untuk Korban Banjir Bandang Aceh-Sumatera
Mengapa Hak Rakyat Dikorbankan untuk Menutupi Kegagalan Parpol?
Tahun Baru Tanpa Dentuman, Jakarta Gelar Malam Doa dan Solidaritas di Bundaran HI
Effendi Gazali: Kasus Ijazah Jokowi Baru Berakhir 2035?