Lalu, bagaimana publik bisa percaya janji pemerintah untuk bencana Aceh dan Sumatera, jika proyek yang cuma 30 KM dari ibukota saja janji dan realisasinya tidak nyambung?
Dalam diskusi itu, penulis menyampaikan poin penting. Banjir bandang ini bukan sekadar bencana ekologis belaka. Ini adalah bencana politik. Akibat dari kebijakan pemerintah yang gemar mengobral izin tambang dan sawit di kawasan hutan. Akar masalahnya adalah deforestasi. Dan penyebab deforestasi itu sendiri adalah kebijakan.
Di era Jokowi, oligarki sawit dan tambang dimanjakan. Lahan hutan dibagi-bagikan bak barang murah, hanya untuk menambah kekayaan segelintir orang.
Ingat saat era Menko Marves Luhut Panjaitan? Ada 9 juta hektar lahan sawit yang diaudit. Hasilnya, 3,3 juta hektar di antaranya ilegal karena berada di atas kawasan hutan. Apa konsekuensinya? Apakah para taipan sawit itu ditindak?
Tidak. Alih-alih dipenjara, lahan sawit ilegal mereka justru diputihkan. Kejahatan pembalakan hutan dilegalisasi dengan dalih "sudah terjadi" dan agar bisa berkontribusi pada negara. Sungguh ironis.
Dan perlu diingat, kebijakan mengobral konsesi ini bukan semata-mata inisiatif menteri. Itu dilakukan untuk melaksanakan visi misi Presiden Jokowi.
Kini, pertanyaan besar mengemuka. Akankah Prabowo Subianto sebagai presiden sekarang membiarkan kerusakan ini terus terjadi? Atau justru akan melestarikannya dengan argumen bahwa menanam sawit itu baik karena pohonnya juga berdaun? Bahkan lebih jauh, akankah deforestasi diekspor ke Papua dengan dalih kebutuhan energi terbarukan?
Prabowo akan memilih berkhidmat kepada rakyat, atau menjadi pelayan setia oligarki kapitalis?
Satu hal yang jelas: status bencana nasional sekarang bukan lagi sekadar keinginan. Itu adalah kebutuhan mendesak. Kebutuhan untuk percepatan, seperti kata Aiman. Kebutuhan untuk adanya komando yang jelas, seperti disampaikan Sherly.
Dan yang paling utama, agar negara benar-benar hadir. Memainkan peran terbaiknya untuk menyelesaikan masalah rakyatnya. Rakyat Aceh dan Sumatera saat ini merasa seperti yatim. Bahkan, kadang seperti anak tiri. Jangan sampai muncul pikiran di benak mereka, bahwa hidup mandiri tanpa NKRI mungkin lebih baik.
Di tengah kegalauan bangsa ini, Ubedilah Badrun mengingatkan satu hal. Jangan lupakan pendekatan teologis. Sudah saatnya bangsa ini berkontemplasi, evaluasi diri, agar menjadi hamba Allah yang bertaqwa. Agar kekayaan alam negeri ini mendatangkan berkah dan kesejahteraan, bukan malah menjadi kutukan dan bencana yang terus berulang.
QS. Al A'raf: 96. []
Artikel Terkait
Surabaya Lumpuh, Jalan Utama Diblokade Aksi Buruh Malam
Polres Wonogiri Tetapkan Empat Santri Pelaku Penganiayaan Mematikan
Diskusi Buku di Yogya Diawasi Ketat, Polisi Tuntut Izin Keramaian
Di Tengah Reruntuhan, Bocah Aceh Mengejar Mobil Relawan Hanya untuk Satu Permintaan: Ada Al-Quran?