Gonjang-Ganjing di PBNU: Jejak Panjang dan Koneksi Global
(Membaca pergumulan Gus Yahya selama 2 dekade dengan Tokoh Zionis, C. Holland Taylor)
Oleh: Narto Setia NU
Kisruh yang berujung pada pemakzulan Yahya Cholil Staquf dari kursi Ketua Umum PBNU bukan cuma soal konflik internal biasa. Ada yang lebih besar di baliknya. Lebih dalam. Ini tentang relasi global, jejaring lembaga internasional, dan praktik diplomasi yang perlahan membentuk arah kebijakan organisasi Islam terbesar di dunia itu.
Kotak Pandora-nya terbuka.
Seiring keributan itu, beredar laporan keuangan PBNU yang menyebut tiga lembaga non-pemerintah asal Amerika Serikat: LibForAll Foundation, Bayt ar-Rahmah, dan Center for Shared Civilizational Values (CSCV). Mereka bukan bagian resmi struktur NU. Tapi pengaruhnya, terutama dalam diplomasi global dan isu sensitif seperti Palestina-Israel, disebut-sebut cukup signifikan.
Menurut sejumlah analisis, ketiganya diduga menjadi alat penetrasi ideologis lewat soft power untuk kepentingan Zionis Israel. Caranya khas: bukan tekanan militer, tapi lewat wacana, legitimasi moral, dan dialog antar elit.
Di titik ini, muncul satu nama yang konsisten jadi penghubung: C. Holland Taylor. Seorang aktivis dialog lintas agama yang disebut-sebut berperan membingkai Islam Indonesia sebagai mitra strategis dalam proyek global bertajuk "moderasi" dan "peradaban bersama". Beberapa pihak bahkan menyamakan perannya dengan Snouck Hurgronje di masa lalu.
Bagaimana Soft Power Itu Bekerja?
Soft power itu sederhananya membentuk cara pikir. Membuat aktor lokal secara sukarela bergerak sejalan dengan kepentingan global tertentu. Dalam dunia Islam, modusnya biasanya lewat dialog lintas agama, program kontra-ekstremisme, sampai pelatihan kepemimpinan.
NU, dengan basis massa luas dan citra moderat, tentu jadi aset simbolis yang sangat berharga. Keterlibatan tokoh-tokohnya dalam jejaring internasional memberi legitimasi keagamaan yang sulit ditandingi.
Fase Awal: LibForAll Foundation
LibForAll Foundation berdiri tahun 2003, pasca 9/11. C. Holland Taylor mendirikannya dengan restu almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Fokusnya waktu itu mengampanyekan Islam damai dan melawan ekstremisme.
Fase ini bisa dilihat sebagai masa inkubasi. Membiasakan tokoh Islam Indonesia terlibat dalam proyek global Barat, dengan citra bahwa penyelesaian konflik harus lewat dialog elit, bukan perlawanan politik struktural. Afiliasi Taylor dengan kepentingan Zionis disebut masih tertutup rapat pada masa ini.
Fase Kedua: Bayt ar-Rahmah dan "Humanitarian Islam"
Setelah Gus Dur wafat, Taylor melanjutkan misi. Tahun 2014 dia mendirikan Bayt ar-Rahmah bersama F. Borden Hanes Jr. dan Yahya Cholil Staquf. Nama KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) juga ikut disebut sebagai legitimasi, meski keterlibatan sebenarnya dipertanyakan.
Taylor yang menyediakan struktur hukum dan akses donor. Di baliknya, kekuatan AS dan afiliasi Zionisme mulai terlihat samar.
Konsep "Humanitarian Islam" dipromosikan lebih sistematis di sini. Empati kemanusiaan lintas batas, dialog, rekonsiliasi. Tapi dalam konteks Palestina, pendekatan ini berisiko mengaburkan relasi kuasa penjajahan menjadi sekadar persoalan kemanusiaan yang abstrak.
Pada 2018, atas prakarsa lembaga ini, Yahya Cholil Staquf yang saat itu menjabat Katib Aam PBNU, diberangkatkan ke Yerusalem sebagai pembicara di forum American Jewish Committee (AJC). Di sana, dia bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Diklaim inisiatif personal, tapi langkah itu membawa NU ke pusaran kontroversi. PBNU di bawah KH. Said Aqil Siroj dibuat kelabakan. Mereka tak pernah memberi mandat, tapi harus menanggung dampaknya.
Artikel Terkait
Empat Pejabat KPU Tanjung Balai Ditahan, Dana Hibah Rp16 Miliar Digelembungkan
Drone ELN Gempur Pangkalan Militer, Tujuh Prajurit Kolombia Tewas
Polri Siagakan Deteksi Dini dan Pukul Duluan untuk Amankan Natal dan Tahun Baru
Kalbar Digoyang 31 Kali Gempa dalam 14 Tahun, Ketapang Paling Sering Bergetar