Pengalaman serupa terlihat di Haiti 2010 atau Nepal 2015. Respons internasional terbukti menyelamatkan banyak nyawa. Intinya, bantuan dari luar jika dikelola dengan baik bisa mempercepat penyelamatan dan pemulihan secara signifikan.
Nah, sejumlah pakar punya pendapat serupa. Prof. Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, berulang kali menyatakan Indonesia memang punya pengalaman panjang menghadapi bencana. Tapi bencana berskala besar dan simultan sering melampaui kapasitas nasional, terutama di masa-masa awal yang disebut golden time.
Menurutnya, menerima bantuan asing bukan tanda kelemahan. Bencana di Sumatra sering bersifat multihazard banjir, longsor, cuaca ekstrem terjadi bersamaan. Infrastruktur rusak, akses terbatas. Dalam kondisi seperti itu, dukungan alat berat dan teknologi dari luar jadi sangat krusial.
Pakar Hukum Internasional UI, Prof. Hikmahanto Juwana, menegaskan bahwa menerima bantuan saat bencana tidak melanggar kedaulatan. Menolak bantuan tanpa alasan darurat yang jelas justru bisa dianggap mengabaikan kewajiban kemanusiaan. Ia mengingatkan, Indonesia sendiri kerap membantu negara lain saat mereka tertimpa musibah. Secara etis dan diplomatis, wajar jika kita juga membuka diri.
Pendapat senada datang dari Dr. Eko Teguh Paripurno, mantan pejabat BNPB. Ia menyebut tanpa bantuan internasional, pemulihan Aceh pascatsunami akan memakan waktu jauh lebih lama dengan korban yang mungkin lebih besar. Aceh justru bangkit lebih cepat berkat kolaborasi global.
Sementara Prof. Budi Susilo Supandji, ahli kebijakan publik, menambahkan bahwa bantuan asing tak hanya untuk fase darurat. Teknologi mitigasi, sistem peringatan dini, dan penguatan ketahanan komunitas juga butuh dukungan dari luar.
Dengan banyaknya dukungan dari pakar, wajar jika publik bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya di balik penolakan Prabowo? Apakah ada kekhawatiran bahwa pihak asing akan menemukan fakta lain di lapangan misalnya soal perluasan perkebunan sawit yang ugal-ugalan, yang diduga turut memperparah banjir? Ataukah sekadar ingin menjaga image Indonesia agar tidak dianggap lemah dan miskin?
Selama ini, Prabowo memang gencar berkampanye bahwa Indonesia itu kaya, kuat, dan hebat. Baru-baru ini, ia bahkan berkomitmen menyumbang 1 miliar dolar AS untuk konservasi hutan tropis di Brasil. Ia juga tak segan mengeluarkan triliunan rupiah untuk membeli pesawat dan alutsista canggih.
Tapi di sisi lain, ada realita pilu yang tak terelakkan. Irine Wardani, reporter CNN Indonesia yang melaporkan langsung dari pelosok bencana di Aceh pada 17 Desember 2025, menangis. Ia tak kuasa menahan air mata melihat orang dewasa dan anak-anak yang tidak mendapat makanan selama 'beberapa hari'.
Sayangnya, mungkin laporan itu tak sampai ke meja Prabowo. Wallahu alimun hakim.
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik.
Artikel Terkait
Trump Desak Ukraina Segera Akhiri Perang, Sebut Rusia Sudah Siap
KPK Amankan Bupati Bekasi dalam Operasi Dini Hari
Ketika Uang Berhenti Bergerak: Dilema Ekonomi di Tengah Gelombang Pesimisme
Rusia Ingatkan Trump Soal Venezuela: Jangan Lakukan Kesalahan Fatal