Entah apa yang ada di pikiran Presiden Prabowo. Dengan tegas, ia menolak bantuan luar negeri untuk korban banjir di Sumatra. Alasannya, Indonesia masih mampu menangani sendiri. Kabarnya, pemerintah bahkan sudah menyiapkan anggaran hingga 60 triliun rupiah untuk menanggulangi bencana di Sumbar, Sumut, dan Aceh.
Kebijakan itu langsung diikuti oleh Mendagri Tito Karnavian. Ia pun menolak bantuan dari Malaysia, negeri jiran kita.
Tapi, tidak semua pihak patuh. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, punya sikap berbeda. Ia menyatakan Aceh tetap menerima bantuan dari Malaysia untuk penanganan banjir dan longsor yang melanda wilayahnya.
Bantuan itu sudah tiba. Sekitar tiga ton obat-obatan, pakaian, dan makanan, plus tim tenaga medis seperti dokter dan perawat yang dikirim organisasi kemanusiaan dari Kuala Lumpur. Semua barang itu akan dibagikan ke sejumlah kabupaten dan kota yang terdampak.
Tak hanya itu. Ada juga donasi pakaian senilai sekitar Rp2 miliar atau setara 500 ribu ringgit Malaysia yang disumbangkan seorang konglomerat sana melalui komunitas Aceh di Malaysia.
Beda presiden, beda kebijakan. Coba kita ingat saat tsunami besar menghantam Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Kala itu, Presiden SBY justru membuka pintu lebar-lebar bagi bantuan asing. Respons dunia pun datang dengan cepat.
Tak kurang dari 56 negara mengirimkan personel SAR, tim medis, logistik, hingga dana rekonstruksi. Bantuan internasional itu bukan cuma untuk kebutuhan darurat, tapi juga mendukung pemulihan jangka panjang memperbaiki infrastruktur, layanan kesehatan, sampai pendidikan. Kerja sama global saat itu menjadi kunci percepatan pemulihan Aceh.
Secara teknis, alasan menerima bantuan asing sebenarnya sederhana. Pertama, kapasitas lokal sering kewalahan di hari-hari pertama. Kebutuhan alat berat, tim penyelam, obat-obatan, atau tenda darurat bisa melampaui stok yang ada.
Kedua, bantuan luar negeri tak selalu bermuatan politik. Banyak organisasi internasional dan NGO yang bekerja dengan prinsip netral, fokusnya cuma menyelamatkan nyawa.
Yang ketiga, ini soal rasa kemanusiaan universal. Ketika negara lain mengulurkan tangan, itu adalah simbol bahwa solidaritas mengatasi batas-batas politik. Para ahli kerap menekankan pendekatan solidaritas bukan sekadar amal yang tetap menghormati kedaulatan negara penerima.
Kerja sama antarnegara saat bencana sebenarnya sudah jadi hal biasa. Lihat saja gempa dahsyat di Turkiye dan Suriah awal 2023 lalu. Ratusan tim SAR asing berdatangan, lengkap dengan peralatan dan logistik, membantu operasi penyelamatan di saat-saat paling kritis.
Artikel Terkait
Trump Desak Ukraina Segera Akhiri Perang, Sebut Rusia Sudah Siap
KPK Amankan Bupati Bekasi dalam Operasi Dini Hari
Ketika Uang Berhenti Bergerak: Dilema Ekonomi di Tengah Gelombang Pesimisme
Rusia Ingatkan Trump Soal Venezuela: Jangan Lakukan Kesalahan Fatal