Cara pandang seperti ini mendorong orang untuk mengabaikan rasa lelah, baik fisik maupun emosional. Kelelahan lalu dianggap sebagai tanda kelemahan. Alhasil, demi memenuhi ekspektasi agar selalu tampak kuat dan sukses, banyak orang memilih menyembunyikan fakta bahwa mereka sebenarnya tidak baik-baik saja.
Media sosial, tentu saja, menambah bahan bakar. Konten-konten yang mengglorifikasi produktivitas berlebih dan gaya hidup tinggi dari para influencer membanjiri linimasa. Hal-hal itu mendorong banyak orang untuk mengikuti gaya hidup serupa, memupuk hustle culture lebih dalam lagi.
Dengan demikian, toxic positivity secara tak langsung menjadi justifikasi. Ia menormalisasi kerja berlebihan, membungkusnya sebagai bagian dari paket "kesuksesan".
Jika dilihat dari kacamata konstruksi sosial, media sosial kini jadi panggung utama yang mereproduksi realitas tentang sukses. Visualisasi kesuksesan dibangun lewat pencapaian-pencapaian spektakuler. Representasi ini lalu dieksternalisasi lewat konten, diobjektifikasi jadi standar ideal, dan akhirnya diinternalisasi masyarakat sebagai kebenaran. Kegagalan pun kian tak mendapat tempat.
Jadi, fenomena hustle culture yang mengakar kuat ini memang tak bisa dipisahkan dari peran toxic positivity. Tekanan ekonomi, budaya konsumtif, dan ekspektasi dari media sosial telah mengubahnya dari sekadar pilihan menjadi sebuah kewajiban yang dinormalisasi.
Struktur ekonomi menciptakan tekanan material. Sementara itu, toxic positivity memberikan pembenaran emosional, membuat masyarakat menerima kerja berlebihan sebagai hal yang lumrah. Pada titik inilah, hustle culture menjadi manifestasi nyata dari toxic positivity itu sendiri.
Artikel Terkait
Fortuner Modifikasi Jadi Gudang Solar Ilegal, Bocor dan Bikin Warga Jatuh
Istri Oknum Polisi Gerebek Rumah Selingkuhan, Laporannya Mengambang Sejak Agustus
Buruh Soroti Formula Upah 2026: Hanya Bertahan Hidup, Bukan Hidup Layak
Pemandu Palsu di Keraton Yogya, Putri Sultan Ungkap Langkah Mitigasi