Hidup dan kerja. Dua hal ini nyaris tak terpisahkan. Mau tak mau, hampir setiap orang harus bekerja, terlepas dari minat atau bidangnya, demi sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan, pada akhirnya, menentukan nasib dan kelangsungan hidup kita.
Namun begitu, situasinya makin pelik. Kondisi ekonomi yang tak menentu belakangan ini, dengan inflasi dan harga kebutuhan pokok yang melambung, menciptakan tekanan luar biasa. Orang dipaksa untuk kerja lebih keras, lebih lama. Budaya konsumtif yang kian menggila memperparah keadaan. Standar gaya hidup seolah terus dinaikkan, memaksa kita untuk terus mengejar dan menyesuaikan diri.
Tekanan ganda inilah yang jadi lahan subur bagi kerja berlebihan. Lama-kelamaan, hal ini dianggap wajar, bahkan ideal. Muncul persepsi sosial bahwa untuk disebut produktif dan sukses, seseorang harus terus-menerus terlihat sibuk. Mereka yang bekerja tanpa henti sering dielu-elukan sebagai pribadi yang berhasil.
Pola pikir ini kemudian mengkristal menjadi perilaku yang kita kenal sebagai workaholic. Di Amerika Serikat, fenomena ini punya nama lain: hustle culture.
Intinya, hustle culture adalah budaya yang mengagungkan kerja keras ekstrem sebagai satu-satunya tolok ukur kesuksesan. Fenomena ini merajalela seiring dengan ekspansi industri korporasi dan gaya hidup konsumtif yang tak sehat.
Di sisi lain, ada satu kekuatan tak kasat mata yang turut memperkuatnya: toxic positivity.
Cherry K. mendefinisikan toxic positivity sebagai keyakinan bahwa seseorang harus terus berpikir positif, meski sedang berada dalam keadaan yang sangat sulit sekalipun.
Artikel Terkait
Fortuner Modifikasi Jadi Gudang Solar Ilegal, Bocor dan Bikin Warga Jatuh
Istri Oknum Polisi Gerebek Rumah Selingkuhan, Laporannya Mengambang Sejak Agustus
Buruh Soroti Formula Upah 2026: Hanya Bertahan Hidup, Bukan Hidup Layak
Pemandu Palsu di Keraton Yogya, Putri Sultan Ungkap Langkah Mitigasi