Nama Sony Dwi Kuncoro terukir dalam sejarah bulu tangkis Indonesia. Dia adalah salah satu tunggal putra terbaik yang pernah kita miliki. Tapi, kisah di balik medali Olimpiade yang berkilau itu jauh dari kata mudah. Penuh perjuangan yang, jujur saja, bikin hati trenyuh.
Semuanya berawal dari Surabaya, tempat dia lahir pada 7 Juli 1984. Di sana, Sony kecil tumbuh di bawah didikan keras ayahnya, Mochamad Sumadji. Mimpi besar sudah dititipkan sejak dini. Namun begitu, ada satu momen pada 2003 yang begitu memilukan. Saat itu, Sony harus berangkat ke Pelatnas PBSI di Jakarta sendirian. Orang tuanya tak bisa mengantar. Soal biaya, transportasi ke ibu kota saat itu adalah sebuah kemewahan yang tak terjangkau keluarga mereka.
Meski harus melangkah seorang diri di usia belia, semangatnya justru makin membara. Dia bertekad membuktikan bahwa semua pengorbanan itu tidak akan sia-sia.
Dan tekad itu membuahkan hasil lebih cepat dari yang dibayangkan. Cuma setahun kemudian, di Olimpiade Athena 2004, dunia dibuat terpana. Di usia yang baru 20 tahun, anak Surabaya itu berhasil naik podium perunggu setelah mengalahkan pebulu tangkis Thailand, Boonsak Ponsana. Prestasi itu langsung melambungkan namanya. Sony menjadi tumpuan baru, mendampingi sang maestro Taufik Hidayat.
Tapi, jalan menuju puncak tak pernah mulus. Di sisi lain, karier Sony justru dihantui oleh satu hal: cedera. Musuh tak kasat mata ini terus menggerogotinya. Sampai-sampai, dia harus absen di Indonesia Open 2006 yang digelar di tanah kelahirannya sendiri. Sungguh ironis.
Artikel Terkait
Cherki Pecah Harapan Forest, City Kokoh di Puncak Klasemen
FC Twente dan Mees Hilgers Siap Buka Perundingan pada Januari 2026
Justin Barki Tolak Bonus Rp1 Miliar, Alihkan untuk Korban Banjir Sumut
Chelsea Tersandung di Kandang Sendiri, Villa Pesta Gol Watkins