Pergeseran Fungsi MK: Dari Pengawal Konstitusi ke Pembentuk Norma Baru
Fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam satu dekade terakhir menunjukkan pergeseran yang problematis. Awalnya dibentuk untuk melindungi hak konstitusional warga dari legislasi yang dibentuk Presiden dan DPR, MK kini kian menduduki posisi sebagai positive legislator atau pembentuk undang-undang. Pergeseran kewenangan MK ini berbahaya dan dapat mengancam kepercayaan antar lembaga dalam sistem trias politica, serta berisiko terhadap kepastian hukum di Indonesia.
Data menunjukkan bahwa 58% atau 107 dari total 198 putusan MK yang dikabulkan antara tahun 2012 hingga 2022 bersifat membentuk norma baru. Sifat putusan MK yang self-executing juga rentan tidak ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang. Contohnya, putusan MK tentang pemilu terpisah (No. 135/PUU-XXII/2024) dan putusan mengenai UU Cipta Kerja (No. 91/PUU-XVIII/2020) mendapat penolakan atau tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah.
Materi Muatan Norma Baru yang Dibentuk oleh MK
Pembentukan norma oleh MK perlu dievaluasi ulang. Hukum positif pada dasarnya dibentuk melalui otoritas parlemen dan presiden, yang mempertimbangkan berbagai kepentingan, fakta sosial, dan konfigurasi politik. Norma baru yang dibentuk MK memunculkan pertanyaan: apakah itu dapat disebut hukum positif? Hal ini berpotensi menimbulkan konflik legislasi antara MK dan parlemen, serta mengancam stabilitas lembaga dan kepastian hukum.
Artikel Terkait
Komjen Karyoto Tegaskan Baharkam Polri Sebagai Polisi Penolong di Rakernis 2025
27 WN China Diciduk Polisi di Bandar Lampung, Modus Polisi Palsu Tipu Lansia
Surat Perintah Penangkapan Erdogan untuk Netanyahu: Israel Keras Tuduh Tiran dan Genosida
Anggota Hansip Tewas Ditembak Pelaku Curanmor di Cakung, Kronologi Polisi