Demokrasi Deliberatif di Media Sosial: Peran Publik dalam Kebijakan Tambang

- Selasa, 11 November 2025 | 07:00 WIB
Demokrasi Deliberatif di Media Sosial: Peran Publik dalam Kebijakan Tambang

Tantangan Demokrasi Deliberatif di Era Digital

Meski model demokrasi deliberatif diyakini menghasilkan keputusan yang lebih terinformasi dan rasional, terdapat beberapa tantangan yang menghambat kualitas proses deliberatif.

Media sosial rentan terhadap informasi palsu yang dapat mengaburkan fakta. Hal ini mempersulit proses deliberasi sehat karena keputusan bisa didasarkan pada data tidak akurat. Diskusi juga sering terperangkap dalam "perang framing" dimana narasi saling bertentangan menyebabkan perdebatan tidak fokus pada penyelesaian masalah.

Efek ruang gema (echo chamber) membuat pengguna cenderung terpapar informasi yang selaras dengan pandangannya sendiri. Akibatnya diskusi menjadi tidak beragam dan minim perspektif berbeda. Diskusi sering didorong oleh emosi, retorika, atau pencitraan daripada argumen berbasis bukti.

Kolom komentar media sosial sering tidak terstruktur, berisi komentar tidak pantas, dan kurang memfasilitasi pertukaran pandangan mendalam. Partisipasi kelompok rentan seperti masyarakat adat juga terbatas karena akses digital yang tidak merata.

Dominasi suara lantang atau influencer membuat argumen logis dari pihak lain kurang terdengar. Terdapat pula kekhawatiran "keramaian tanpa makna" dimana partisipasi daring menjadi luas tetapi dangkal, tanpa menghasilkan diskusi bermakna atau keputusan mengikat secara politik.

Strategi Meningkatkan Kualitas Demokrasi Deliberatif

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas demokrasi deliberatif di media sosial, melibatkan peran masyarakat, pemerintah, dan platform digital.

Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, media, dan akademisi dapat berperan sebagai validator untuk menyajikan data faktual. Hal ini membantu menanggulangi penyebaran informasi palsu. Pemerintah juga bisa menyediakan platform atau forum daring terstruktur untuk menampung diskusi kebijakan publik.

Literasi digital untuk publik perlu ditingkatkan melalui edukasi tentang cara berkomunikasi baik, mengenali informasi palsu, dan berpikir kritis di media sosial. Pendekatan inklusif diperlukan dengan mendorong partisipasi semua pihak, termasuk kelompok kurang terwakili.

Regulasi berimbang diperlukan terkait penggunaan media sosial dalam isu kebijakan publik. Regulasi harus melindungi kebebasan berpendapat sekaligus mencegah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Dengan upaya komprehensif ini, demokrasi Indonesia dapat semakin berkualitas dan deliberatif.


Halaman:

Komentar